SEPI MERANTAI.

15.9K 1.3K 42
                                    

Denial lebih mirip anak ayam yang kehilangan induknya setelah lebih dari satu jam bolak-balik ke tempat yang sama, lantai tujuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Denial lebih mirip anak ayam yang kehilangan induknya setelah lebih dari satu jam bolak-balik ke tempat yang sama, lantai tujuh. Berkali-kali ia mengecek arloji yang kini bergerak ke angka sembilan pagi, tapi tanda-tanda yang ia harapkan tak kunjung datang, harapannya mulai gersang.

Hujan pagi hari di bulan Desember semakin menambah kekesalannya, ia sendiri sama sekali tak fokus dengan urusan pekerjaan yang harus segera dirampungkan sore ini. Pikirannya terpatri pada sosok yang mungkin saja hari ini memang tidak datang, piawai sekali Karenina Hasan membuat pikiran Denial sekacau itu.

Bolak-balik ke lantai tujuh sekadar mengecek ruang kerja Karenina yang mungkin saja sudah didatangi pemiliknya, tapi tetap saja nihil. Kini bahkan Denial putuskan duduk di kursi ruangan itu, kursi sama yang selalu Karenina duduki setiap hari.

Bola matanya tatap daun maple merah yang tergeletak di lantai, hal sederhana itu justru membuat Denial semakin gelisah.

Tangannya merogoh ponsel dari saku celana, dibukanya kontak nomor seraya scroll semua nomor yang ada, tapi sekalipun diulang seribu kali tetap saja nomor Karenina tak ada di sana. Bodohnya, ia tak sudi menerima kenyataan kalau tak miliki nomor Karenina hingga banting ponselnya ke meja.

"Sialan! Kopi gue mana, Karenina!" pekiknya frustrasi, Denial meremas rambut hingga semakin berantakan saja, ia gemas menghadapi hari tanpa Karenina.

Denial raih ponsel dan putuskan keluar dari sana, ia pilih masuk ruang kerja sang ayah.

"Karenina enggak masuk?" tanya Denial tanpa basa-basi lagi, ia berdiri di depan meja ayahnya.

Zian sendiri tengah beradu pikiran dengan laptopnya, ia mengernyit saat seseorang menerobos masuk tanpa izin dan kini bertanya tanpa memahami kondisi pemilik ruangan lebih dulu. Zian angkat wajah tatap sang putra yang pasang ekspresi serius, jika bukan Denial mungkin Zian langsung menyemprotnya dengan makian karena tak miliki sopan santun.

"Apa? Kamu nggak bisa santai sedikit atau gimana, Den. Papa lagi ngurus kerjaan, kamu mau lihat papamu ini mati sambil duduk di depan laptop kalau misalnya punya penyakit jantung? Urusan kerjaan lambat, kalau beralih ke cewek udah kayak serangan fajar aja," cibir Zian panjang lebar, ia kembali tatap laptopnya seraya menggeser kursor ke bagian file yang telah disimpannya.

Denial menghela napas seraya netralkan rasa cemasnya, Zian benar kalau sikap sang putra terlalu berlebihan.

"Maaf, Karenina beneran enggak masuk?" Denial ulang pertanyaannya.

"Nggak, tadi pagi chat papa kalau dia enggak enak badan."

"Papa punya nomornya?" Kerlip bintang seakan muncul di mata Denial.

"Sekretaris sendiri masa nggak punya, apa kata dunia? Kalau kamu mau ya minta sendiri ke orangnya, usaha kek jadi laki-laki."

Lagi-lagi Zian berhasil membuat mood Denial membaik kembali ambyar dalam kurun beberapa detik saja, ayahnya memang selalu mengesalkan disetiap tempat dan kesempatan.

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang