Happy reading guys!
Tinggalkan jejak kalian setelah membaca ya!
Hargai penulisnya dan jangan jadi pembaca gelap.
◇ ◇ ◇
Zidan meremat kedua tangannya saat mendengar semua ucapan istrinya. Baru saja ia mendudukan bokongnya di ranjang yang empuk, tetapi melihat istrinya yang sedang gelisah membuat ia mengurungkan untuk beristirahat.
Pria itu memejamkan matanya untuk meredam emosinya, anaknya itu membuat dirinya seperti ini. Otaknya berpikir untuk menemukan cara bagaimana agar bisa Gaffi bisa luluh dan bisa membuka hati untuk Husna.
"Bagaimana, Pi? Mami takut kalau Husna akan memilih untuk mundur dan berakhir menyerah. Dafi pasti sangat sedih kalau memang itu benar terjadi," Ujar Riana.
Meskipun Riana sudah tidak muda lagi, wajah yang sudah terlihat kerutan itu masih terlihat cantik. Bagi Zidan, mau ada kerutan atau tidak diwajah istrinya, ia sungguh tidak peduli. Cintanya tidak akan pernah berubah, ia mencintai Riana memang apa adanya.
"Kamu tenang saja, jangan terlalu dipikirkan. Biar Papi yang urus."
Bukannya tidak percaya, hanya saja Riana semakin cemas saat memikirkan Husna yang akan melakukan apa setelah Gaffi bertindak seperti kemarin. Dirinya sudah kalang kabut saat tahu Gaffi bisa berbuat senekat itu. Tidak dapat dipercaya, tetapi memang begitu adanya.
"Mi," panggil Zidan, "Kamu gak perlu khawatir, Papi akan bergerak lebih cepat untuk menyatukan mereka berdua. Kamu percaya, kan?"
Sebelum Riana mengangguk, ia membuang nafasnya pelan. "Aku percaya, Pi."
☆ ☆ ☆
"Bunda," panggil Dafi dengan suara yang belum terlalu jelas. Sedari tadi Husna memang menemani Dafi di ruang tamu. Ruangan itu sudah seperti kapal pecah yang penuh mainan berserakan dilantai. Husna tetap mengawasinya di kejauhan, ia membiarkan Dafi bebas bermain selagi anak itu anteng.
Pikirannya saat ini berkecamuk, ia ingin sekali mengantarkan obat dan teh manis hangat untuk suaminya yang sedari tadi berdiam diri didalam kamar. Semenjak kepulangan mertuanya, Riana, ia jadi tidak berani menunjukkan batang hidungnya dihadapan Gaffi. Dalam benak Husna terlintas sekilas, pasti suaminya itu akan berbangga diri karena merasa puas telah membuat dirinya hampir menyerah. Lagi dan lagi ia membuang pemikiran buruk mengenai suaminya, ia menghampiri Dafi dan mengusap kepala anaknya dengan sayang.
"Kita temuin Papa, yuk! Nanti Dafi yang kasih obat dan teh manis hangat untuk Papa agar cepat sembuh."
Balita itu menggumamkan sesuatu yang tidak begitu jelas di telinga Husna. Seolah celotehan Dafi adalah jawaban dari atas pertanyaannya, ia menggendong balita itu yang beratnya semakin bertambah.
Hanya membutuhkan waktu sebentar untuk membuatkan teh manis hangat. Didalam nampan kecil sudah ada obat dan teh yang sudah ia buat tadi.
Diundakan tangga terakhir, nafas wanita itu tersengal-sengal untuk mencapai kamar yang letaknya di lantai dua. Pelan-pelan ia membuka kenop pintu yang memang tidak terkunci, kemudian ia mengintip sebentar melalui celah untuk memastikan apakah suaminya sudah tidur atau memang belum?
"Mas," cicitnya dengan pelan.
Samar-samar suara Husna memenuhi pendengaran Gaffi, pria itu membuka matanya.
"Papa," seru Dafi dengan wajah yang berbinar.
Melihat anaknya ada dihadapannya, mau tidak mau Gaffi menyandarkan badannya pada punggung kasur.
"Jangan dekat Papa dulu ya, Nak. Papa lagi sakit, nanti kamu ketularan," cegah Husna.
Senyum Gaffi langsung meredup, ia tahu ucapan Husna tidak salah. Ia hampir saja menggendong Dafi, ia tidak mau anaknya ikut sakit karena tubuh Gaffi memang sedang tidak sehat.
Husna menyimpan nampannya di meja kecil. Ia mendudukan bokongnya di lantai dingin, sedangkan Dafi sudah ia taruh diatas kasur yang sama dengan Gaffi tetapi dengan jarak yang sangat berjauhan.
"Nanti kalau Papa sudah sembuh, kita main ya. Papa lagi kurang sehat." Ujar Gaffi memberitahu.
Sedari tadi Husna hanya memandang kedua insan itu penuh arti. Jarang sekali melihat ayah dan anak seperti ini. Ia tersadar dari lamunannya saat mendengar suaminya berbicara.
"Ngapain kamu natapnya seperti itu?"
Buru-buru Husna menggeleng dan menundukkan pandangannya. "Ah tidak," elak Husna.
Kemudian Gaffi memandang nampan kecil yang disimpan oleh wanita itu. Terdapat beberapa obat dan ada teh manis hangat. "Ini buat saya?"
Seolah paham dengan pertanyaan yang diajukan, Husna mengangguk. Ia tidak bisa berharap, ia hanya takut pada kebahagiaan ini yang memang hanya sementara.
"Iya," jawab Husna dengan singkat.
"Terima kasih,"
Husna memang pendengarannya secara baik-baik, ia mencoba mencerna baik-baik perkataan yang baru saja terlontar dari mulut Gaffi.
Dalam hati ia tidak berhenti untuk mengucapkan kata syukur, setidaknya suaminya itu mau menghargai dirinya.
Tanpa menjawab, Husna hanya menganggukan kepalanya. Rasa senangnya itu meletup-letup didalam dada.
♡ ♡ ♡
Jam menunjukkan pukul empat pagi, azan subuh sudah berkumandang, Husna terbangun saat mendengar suara azan. Ia ketiduran setelah shalat tahajud. Ia duduk sebentar, kemudian ia mencoba untuk melangkah kearah kamar mandi. Melihat punggung suaminya yang membelakanginya, membuat ia bisa menebak bahwa Gaffi masih tertidur.
"Mau bangunin, tapi takut marah lagi," Batin Husna.
Akhirnya ia memasuki kamar mandi untuk menggosok gigi, cuci muka lalu mengambil wudhu. Husna menatap cermin yang ada didalam kamar mandi, ia menaruh kedua tangannya pada sisi wastafel, wajahnya menatap sendu kearah pantulan cermin.
"Apa aku tidak pantas bersanding dengan Mas Gaffi? Suamiku sendiri malu untuk mengakuinya, kecil harapanku akan hubungan ini. Huftttt... gak boleh gitu, Husna. Tidak ada yang tahu kehidupan seseorang, hilangin pemikiran seperti itu," gumam Husna sembari menyudahi sikat gigi dan cuci mukanya.
Pintu terbuka, wanita itu hampir saja menubruk tubuh tegab yang sudah ada di depannya. Dahinya berkerut, sejak kapan suaminya itu didepan pintu? Mengapa tidak ketuk saja? Biasanya kan memang bertindak semena-mena pada Husna.
Husna hanya mengusap dadanya, ia hampir saja meneriaki didepan suaminya sendiri. Untung saja mulutnya itu tidak kebablasan karena saking kagetnya.
Gaffi hanya berdiam diri, bahkan ia tidak ada niatan untuk menyingkir sedikit pun dari wanita itu. Tumben sekali, pikir Husna.
Husna memilih untuk berjalan lebih dulu ke sisi kiri, belum juga melangkah, tangan pria itu sudah menghadang, dengan berat hati, Husna menatap mata tajam yang sangat ia hindari.
"Silahkan Mas Gaffi dulu yang lewat,"
"..."
"Husna mau shalat, keburu habis waktunya,"
"..."
Dengan berat hati, Husna langsung pergi meninggalkan suaminya.
Baru saja ingin menjawab, Gaffi sudah melihat istrinya yang sedang memakai mukenanya. Ia hanya ingin mengajak shalat jamaah, apakah salah?
Gaffi memasuki kamar mandi dengan wajah yang kusut. Padahal tidak ada yang merugikan dirinya, hanya perihal tidak shalat bersama saja, mengapa ia menjadi sensitif seperti ini?
Buru-buru Gaffi menghilangkan pikiran gilanya yang bisa-bisanya menghantui isi kepalanya. Bagaimana bisa ia menyukai pembantu itu? Astaga, sadarlah Gaffi, dirimu lebih tinggi dari pada wanita itu.
Moodnya telah hancur saat melihat sikap istrinya yang tidak seperti biasanya. Huft, jangan sampai Gaffi bisa menerima kehadiran wanita udik itu! TIDAK AKAN!
◇ ◇ ◇
KAMU SEDANG MEMBACA
GAFNA
SpiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Ini kisah dua insan yang harus menikah saat Riana--- selaku majikan Husna memintanya untuk menikah dan menjadi istri dan ibu sambung untuk Dafi. "Kamu yakin mau jadi istri dan ibu...