Selamat membaca!
Votement ya guyssss!
° ° °
Riana terisak pelan, ia tidak sanggup menjawab pertanyaan itu. Ia hanya bisa memeluk anak balita itu. "Dafi sabar ya, Bunda lagi pergi sebentar kok. Nanti pulang, Dafi doakan ya supaya Bunda mau pulang dan bisa berkumpul lagi dengan kita."
"Enapa Oma nanis? Oma ndak oleh cedih, mata indah Oma ndak oleh nanis. Unda juga seling nanis sepelti Oma, Afi ndak cuka lihat ail mata," Dafi berdiri lalu menghapus air mata Riana yang sempat menetes dan menghiasi pipinya.
Riana sangat amat bersyukur bisa mempunyai cucu seperti Dafi. Setelah Zidan, Gaffi, kini Dafi menjadi bagian hidup Riana. Ia sangat menyayangi Dafi. Seandainya Nisa--- almarhum menantunya itu benar mengugurkan janin tak berdosa itu, mana mungkin Riana bisa menemani sang cucu saat ini. Dafi, si anak malang yang membuat Riana merasa sayang. Titipan Tuhan yang harus dijaga dengan baik.
"Oma tidak nangis kok, sayang. Mata Oma tadi kelilipan," kilah Riana.
"Afi angen ama Unda, biacana Afi lagi mamam sole ama Unda." Cerita Dafi.
"Yasudah kalau begitu Oma suapi Dafi sekarang ya? Dafi kan belum mamam sore, nanti kalau Opa dan Papa tahu bagaimana?"
Dafi menolak. "Ndak au, Oma. Afi au unggu Papa ulang. Papa ilang au awa Unda ulang ke lumah,"
Tak lama suara mobil terdengar yang sedang terparkir didalam garasi, Dafi mengenali mobil itu, mobil milik Papanya.
Balita itu menghampiri Gaffi dengan berlari. Akhirnya Papanya pulang juga. "Papaaaaa," seru Dafi.
Baru saja turun dari mobil, Gaffi langsung mendengar suara teriakan dari anaknya. Rasa penatnya itu seketika hilang saat melihat wajah anaknya. "Eitsss... jangan lari-lari dong sayang,"
Gaffi membawa Dafi kedalam pelukannya, ia membawa anak itu dengan menggendong. "Papa Unda nya mana? Kok ndak ada?" tanya Dafi saat melihat kearah kanan-kiri yang tidak melihat siapa-siapa lagi. Pria itu hanya bisa diam, tidak berani menjawab pertanyaan anaknya.
Gaffi sempat menemui Riana yang kebetulan ada dibangku teras, ia mencium punggung tangan Riana. "Assalamualaikum, Mi,"
"Waalaikumsalam, Gaffi sedari tadi Dafi murung terus, dia juga belum makan sore, selalu nanya Husna."
Pria itu mengangguk, hari ini ia belum mendapat info apa-apa dari orang suruhannya. Sampai saat ini tepat tiga bulan, Husna pergi meninggalkan dirinya bersama Dafi.
"Nanti aku coba bujuk dia makan, Mami istirahat saja. Papi belum pulang, Mi?" melihat garasi mobil yang belum ada mobil milik Zidan.
"Belum, sepertinya sebentar lagi. Yasudah Mami tinggal ya?"
Gaffi tersenyum. "Iya, terima kasih sudah menjaga Dafi untuk hari ini,"
° ° °
Selesai mandi, Gaffi membawa anaknya untuk makan. Ia turun dari lantai 2 menuju lantai bawah. Pria itu mendudukan anaknya dibangku khusus balita. "Dafi mamam dulu ya? Nanti perutnya bunyi,"
Dafi tetap menolak. "Afi mau Unda,"
"Iya nanti kita ketemu Bunda, tapi Dafi harus mamam dulu,"
Balita itu mendorong sendok berisi sayur itu, ia memalingkan wajahnya. "Afi mau Unda, Afi angen ama Unda!"
Gaffi hanya menghela nafas, ia berusaha untuk sabar. Sesekali ia meremas rambutnya yang mulai gondrong. Mengurus anak, rupanya harus membutuhkan kesabaran yang ekstra. "Bunda lagi pergi sebentar, nanti akan bersama-sama lagi kok. Dafi gak boleh nangis, Papa sedih lihat Dafi seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
GAFNA
SpiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Ini kisah dua insan yang harus menikah saat Riana--- selaku majikan Husna memintanya untuk menikah dan menjadi istri dan ibu sambung untuk Dafi. "Kamu yakin mau jadi istri dan ibu...