GAFNA • [23]

10.8K 494 3
                                    

Selamat membaca!

Votementnya ya guysss!

°°°

"Lalu kemana suami kamu?"

Husna terdiam. Lagi dan lagi ia harus mengingat Gaffi.

Wiwin mendekat, ia mengambil kedua tangan Husna kemudian mengelus punggung tangannya dengan pelan. Husna menatap tangannya dengan tatapan kosong. "Husna, aku tidak tahu seberapa berat ujian kamu yang saat ini di rasa. Tapi, kalau boleh, aku mau jadi tempat curhat kamu. Sekiranya bisa buat kamu menjadi sedikit lega."

Husna membuang nafasnya, "Aku bekerja sebagai pengasuh dan pembantu di salah rumah yang ternyata majikannya alhamdulillah baik hati. Aku mendapatkan gaji double, Mbak. Aku mengurus anak balita itu dari umur satu tahun, dan sekarang dia sudah berumur dua tahun. Namanya Dafi, sejak awal bertemu aku bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan itu walaupun hanya sebagai pengasuh saja, tapi aku merasa bahwa anak yang ku rawat ini seperti anakku sendiri. Ibu Riana adalah majikanku saat aku bekerja waktu itu yang kini berubah menjadi mertuaku semenjak menikah dengan anaknya yang bernama Gaffi. Singkat cerita aku dan Mas Gaffi menikah karena tuntutan kedua orang tua Mas Gaffi yang menginginkan aku menjadi ibu sambung dari Dafi,"

Dahi Wiwin mengerut, ia masih belum paham dengan cerita Husna yang baru saja dikatakan. "Tunggu dulu, Dafi itu anak sambung kamu sekarang? Itu artinya suami kamu itu seorang Duda?"

Husna mengangguk, "Iya, Mas Gaffi seorang Duda yang ditinggal istrinya karena meninggal saat melahirkan Dafi. Kami terpaut usia yang lumayan jauh, dia umurnya 30 tahun, sedangkan aku 19 tahun. Tapi, bagiku itu tidak masalah. Mungkin memang sudah jalannya seperti itu. Setelah resmi menikah, tidak ada yang berubah bagi kami berdua. Maksudnya, tidak ada perubahan dari Mas Gaffi. Dia masih sama saat menjadi majikanku waktu itu. Dia memang memberi nafkah, tetapi sikapnya itu loh Mbak yang buat aku bingung. Dia masih belum bisa menerima kehadiranku sebagai istrinya, kemudian ucapan-ucapannya itu yang buat aku sakit hati. Terlalu pedas dan sangat keterlaluan. Kenapa Mas Gaffi tetap menikahkan aku walaupun aku berasal dari keluarga yang kurang mampu? Sebaik mungkin aku melaksanakan kewajibanku sebagai istri, tapi apa? Tidak ada perubahan untuk dirinya. Maka dari itu, aku memilih untuk menyerah, aku tidak sanggup, Mbak Wiwin." Bahu Husna bergetar, gadis itu menumpahkan semua segala kekesalannya lewat tangisan, Wiwin yang mendengarnya pun merasa geram. Ingin rasanya Wiwin menonjok perut pria itu yang berani-beraninya buat Husna seperti itu. Pria itu sudah keterlaluan, andai saja pria itu ada dihadapannya, sudah dipastikan bahwa Gaffi akan bonyok. Masa bodoh dengan wajah pria itu, yang paling terpenting rasa kekesalannya selama ia mendengar cerita Husna bisa terbalaskan.

"Kurang ajar banget sih suami kamu. Sudah diberi istri yang cantik, pengertian, sholeha, jago masak --- eh tapi malah di sia-siakan begitu saja. Rasanya mau ku hajar, Na. Dia tidak mensyukuri nikmat Tuhan. Apa dia tidak memikirkan bagaimana kehidupan anaknya setelah ini? Bagaimana jika anaknya bertambah besar lalu menanyakan Bundanya? Biar saja dia mencari kamu, Na. Biar dia tahu rasa bagaimana ditinggal istri." Kini posisi Wiwin mengarah pada Husna, "Kamu mencintainya?" tanya Wiwin memastikan.

Dengan pelan Husna mengangguk. "Iya aku mencintai Mas Gaffi, aku menahan kepergianku saat itu karena aku memikirkan Dafi. Bagaimana kalau aku pergi tanpa membawa Dafi? Anak itu selalu bersamaku, Mbak. Bahkan dia lah yang menemaniku sehari-harinya, jadi aku merasa dibutuhkan saat anakku bersamaku." Jelasnya.

Wiwin meraup wajahnya dengan gusar, ia bingung kenapa gadis seperti Husna bisa sesabar itu? Jika dirinya yang menjadi Husna, sudah dipastikan bahwa dirinya akan kabur tanpa memikirkan hal yang lain.

"Sekarang gini deh, Na. Aku tahu kamu mencintai si pria kurang ajar itu, tapi aku ingatin kamu lagi bahwa perlakuan dia selama ini tuh sudah keterlaluan. Apa kamu tidak tersiksa dengan kondisi yang sekarang? Aku memang belum paham bagaimana cara mengurus anak, tapi setidaknya aku bisa melihat ketulusan kamu. Kalau ibaratnya tuh, dia yang beruntung mendapat istri yang baik, apalagi dia seorang Duda dan sudah punya anak satu lagi. Memang sih umurnya sudah menginjak kepala tiga, tapi dia kenapa tidak memikirkan kedepannya gitu?" Wiwin memberengut kesal.

Gadis itu hanya mampu memberikan senyum tipis. Ia tidak menyangka dengan respon Mbak Wiwin. "Maaf Mbak Wiwin, gara-gara mendengar curhatanku, Mbak jadi kesal begini," ujarnya dengan tidak enak.

Wiwin melirik sebentar kemudian membuang nafasnya. "Tidak apa-apa, Husna. Aku salut sama kesabaran kamu itu, aku terbawa emosi saja sama pria kurang ajar itu. Kalau dia berani datang lalu membawa kamu, hadapi aku saja dulu. Ingin ku hajar wajahnya itu, Na!"

Husna terkekeh. "Terima kasih ya Mbak Wiwin, karena sudah peduli denganku yang bukan siapa-siapanya Mbak."

Wiwin cemberut, ia sama sekali tidak setuju dengan penuturan Husna yang bilang 'bukan siapa-siapa dirinya'. Padahal Wiwin sudah ia anggap seperti adik sendiri. "Kamu ini ngomong apa sih, Husna! Aku itu sudah menganggap dirimu sebagai adikku sendiri. Jadi, sekarang aku tidak merasa kesepian lagi disini, sudah jangan sedih lagi, selama aku bisa bantu kamu, kamu jangan pernah sungkan untuk bilang. Selagi aku mampu, Insya Allah aku bantu. Orang baik itu selalu saja ada jalannya, Na. Aku yakin sebentar lagi wajah kamu yang selalu dihiasi air mata akan berganti menjadi senyuman. Kamu tahu? Senyum kamu tuh indah loh, aku sedang tidak berbohong. Kalau kamu mau tahu, Mas David--- bos ku di tempat kue saja sempat menanyakan dirimu loh, Na."

Apa yang dikatakan Wiwin tadi? David? Husna sepertinya memang sedang bermimpi. Mana mungkin David—bos Mbak Wiwin itu memiliki rasa terhadap dirinya. Mengingat status dirinya yang masih menjadi istri orang. Lagi pula Husna masih menyayangi suaminya yang bernama Gaffi.

Hanya Mas Gaffi yang bisa buat Husna seperti itu. Setelah Bapaknya yang ia cintai, kini Gaffi masuk kedalam daftar orang yang Husna sayang.

"Yasudah aku pulang dulu, besok kamu nitip kue kan? Nanti pagi aku ambil ya kuenya, selamat istirahat Husna." Pamit Wiwin.

"Terima kasih Mbak Wiwin untuk Jus Sirsaknya, selamat istirahat juga." Wiwin hanya menjawab dengan anggukan saja.

°°°

Sedari tadi Dafi setia menunggu kepulangan Sang Papa yang belum pulang kantor. Riana masih setia menunggu kepulangan anaknya bersama sang cucu. Tangan Riana masih mengelus puncak kepala Dafi, sesekali ia melirik cucunya yang berwajah sedih. Ia jadi tidak sanggup, anak sekecil Dafi kenapa bisa merasakan hal seberat ini?

Peluk Dafi dari jauh :) 

"Dafi kita masuk yuk? Sudah mau maghrib, nanti kita tunggu Papa didalam saja,"

Dafi menggeleng, ia mencoba menolak ajakan Oma-nya. "Ndak au, Oma, Afi au unggu Papa ulang ke lumah,"

Balita itu masih memeluk boneka kelinci yang kini menjadi boneka kesayangannya. "Oma, Unda ana? Kok ndak ada? Unda lagi pelgi ya, Oma? Afi angen ama Unda, Oma," Dafi mengeratkan pelukan bonekanya, seakan-akan boneka tersebut adalah Husna.

°°°

GAFNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang