Selamat membaca!
***
Husna bisa bernafas lega, akhirnya ia bisa keluar dari Rumah Sakit setelah mendapat persetujuan dari Dokter. Walaupun masih dibantu untuk memakai kursi roda, tidak membuat rasa syukurnya itu berkurang.
"Mas Gaffi berapa lama disini?" tanya Husna saat melihat Gaffi yang mulai menyalakan mesin mobilnya.
Gaffi menoleh, alisnya naik satu, pertanda ia bingung. "Maksud kamu?" tanyanya.
"Mas Gaffi berapa lama disini?" Husna mengulangi ucapannya dengan perkataan yang sama.
Seakan paham dengan apa yang dimaksud, Gaffi mengurungkan niatnya untuk menyalakan mesin mobil.
"Bukan hanya saya yang akan pulang dan kembali ke Jakarta, tapi kita berdua. Kita berdua akan pulang bersama, kita berobat di Jakarta saja ya." Ujar Gaffi memberitahu.
"Kita mampir dulu ke Kost-an kamu, mengambil barang-barang kamu disana," lanjut Gaffi.
Melihat Husna yang hanya diam membuat Gaffi menjadi gelisah. Apakah ucapannya itu ada yang salah sehingga membuat gadis itu menjadi tidak nyaman.
"Kamu keberatan ya? Baiklah, jika kamu memang ingin berobat disini, kita akan lebih lama untuk tinggal disini,"
Bukan ini yang Husna maksud, ia sama sekali tidak keberatan untuk berobat di Jakarta. Ia yakin pasti suaminya itu sudah memikirkan ini secara matang. Ia juga memikirkan keadaan anaknya yang lama tidak ia temui, rasa rindunya semakin bertambah sebelum melihat wajah balita itu.
Husna memegang lengan Gaffi, ia menggeleng. "Bukan, bukan karena aku tidak setuju, bahkan aku sangat setuju dengan usul Mas Gaffi."
"Lalu kenapa kamu hanya diam saja? Saya pikir kamu keberatan dengan usul saya," ujar Gaffi yang menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.
Gadis itu terkikik dalam hati. "Memangnya kalau diam saja, tandanya marah ya?"
"Ya--- mana saya tahu, mungkin saja iya. Sudahlah, kita jalan. Kamu harus banyak istirahat, Husna!"
***
"Silahkan di minum Mas Gaffi," secangkir teh manis yang baru saja Husna buatkan saat tiba di kost-an. Meskipun Husna menggunakan kursi roda, ia masih bisa beraktivitas, walaupun tidak bisa seperti dulu.
Gaffi menerima secangkit teh hangat tersebut, kemudian mulai menyeruput teh yang dibuat oleh Husna. "Terima kasih ya," sahut Gaffi.
Tak lama terdengar suara ketukan pintu yang membuat kedua insan itu saling berpandang. Pukul delapan malam ada tamu yang tiba-tiba mengunjungi kamar kost-an Husna, tumben sekali.
Gaffi beranjak untuk membukakan pintu.
Pandangan pria itu tidak bisa dikatakan baik-baik saja, karena pandangan Gaffi sangat amat tajam dan menakutkan. "Selamat malam," sapa seorang laki-laki yang berpakaian kusut, mungkin pria ini baru pulang kerja.
"Malam," jawab Gaffi dengan singkat.
"Apakah ada Husna nya?"
Saat ini didalam hati Gaffi sangat amat membara. Bagaimana tidak? Siapa pria ini yang tiba-tiba berkunjung kemudian bertanya mengenai keberadaan istrinya.
"Apa urusanmu dengannya?"
Pria itu tersenyum tipis. Memang terlihat manis, tetapi bila dibandingkan dengan Gaffi, sudah pasti Gaffi yang terbaik.
"Ah iya, saya lupa memperkenalkan diri. Saya David, pemilik toko kue yang selalu Husna titipkan. Anda ini siapanya Husna?"
Sekarang Gaffi paham bahwa pria yang sedang dihadapannya ini adalah seseorang yang pernah diberitahukan oleh Rudi--- orang suruhannya yang mencari keberadaan Husna.
Sial!
Kenapa hatinya begitu tidak ikhlas saat tahu istrinya mempunyai teman laki-laki, ia tidak menginginkan perhatian gadis itu beralih pada pria yang dihadapannya saat ini juga.
Pria itu berdehem sebentar, kemudian menjawab pertanyaan yang diajukan oleh David. "Saya Gaffi, suami dari Husna." Perkataan Gaffi yang menekankan kata suami dari Husna, sukses membuat David terperanjat kaget.
David menggaruk tengkuk lehernya yang terasa gatal. Dia pikir gadis yang selama ini menjadi incarannya itu masih lajang, ternyata sudah bersuami.
"Kenapa diam? Masih tidak percaya?" tanya Gaffi dengan sedikit nyolot.
Seakan sadar dari lamunan, David menggeleng kikuk. "Tidak, saya kesini hanya ingin berkunjung untuk memastikan bahwa Husna baik-baik saja."
Gaffi memutar bola matanya malas, sesekali ia berdecak dan terus menggerutu dalam hati karena kesal mendengar alasan buaya darat dihadapannya.
"Kamu---," belum sempat menjawab, Husna lebih dulu menghampiri kedua pria yang masih berada didepan pintu. Sedari tadi ia menunggu kembalinya Gaffi, lantaran dirundung rasa penasaran, akhirnya Husna menghampiri suaminya yang sedang berada didepan pintu.
"Eh Mas David, silahkan masuk mas," sahut Husna tiba-tiba.
Alangkah terkejutnya Gaffi saat mendengar Husna mempersilahkan orang lain masuk kedalam kamar kostnya.
David tersenyum, orang yang sedari tadi ditunggu, akhirnya terlihat juga. "Apa kabar, Husna?"
"Alhamdulillah baik, Mas."
"Mas Gaffi kok tidak disuruh masuk kalau ada tamu?" tanya Husna.
"Mana ada tamu berkunjung malam-malam seperti ini, mengganggu orang istirahat saja," celetuk Gaffi.
Husna mengelus punggung tangan suaminya, dari nada bicaranya Husna paham bahwa suaminya itu sedang cemburu. Eh, tapi apa benar bahwa Mas Gaffi sudah mempunyai rasa untuk Husna?
David merasa terpojok saat mendengar jawaban dari suaminya Husna. Sepertinya memang sudah tidak ada harapan untuk menjadi orang yang istimewa dihidup Husna. Kali ini David kalah cepat. Mulai sekarang David akan mulai melupakan rasa sayangnya terhadap gadis tersebut, mau bagaimana pun, ia tidak boleh merusak kebahagiaan orang lain.
David memberikan bingkisan buah, kemudian diterima baik oleh Husna. "ada sedikit buah tangan dari saya, maaf hanya itu saja yang bisa saya berikan. Kebetulan saya habis dari Toko dan sekalian mampir kesini saat tahu kamu sudah diperbolehkan pulang dari Wiwin," jelas David.
"'Tidak apa-apa, Mas David. Ini sudah lebih dari cukup kok. Seharusnya tidak bawa buah tangan juga tidak apa." Jawab Husna.
"Saya turut senang melihat kamu yang sudah diperbolehkan pulang. Oh iya, kamu tetap akan tinggal disini kah?"
"Tentu saja tidak, saya yang akan membawa istri saya kembali ke Jakarta. Anak kami sudah merindukan ibunya."
Bukan Husna yang menjawab, melainkan Gaffi. David dapat mengetahui info terbaru bahwa selain menjadi istri, Husna sudah menjadi ibu. Astaga, sadar kamu David, tidak boleh menyukai istri orang, terlebih lagi Husna sudah menjadi seorang ibu.
"Kapan kamu akan kembali ke Jakarta?"
"Kemungkinan besok pagi, Mas David." David mengangguk, kemudian ia meraba saku celananya dan mengeluarkan amplop coklat yang berisi uang.
"Tolong ambil ya uang ini, uang ini hasil dari penjualan kamu selama menitipkan kuenya di Toko saya." Husna melirik kearah Gaffi, seakan meminta persetujuan.
Gaffi hanya mengangguk, meyakinkan istrinya. "Saya ambil ya Mas David, terima kasih."
"Kalau begitu saya pamit ya, jaga diri baik-baik. Saya senang bisa bekerja sama dengan kamu, Husna." Kemudian arah pandang David beralih pada Gaffi yang sedari tadi menekuk wajahnya. "Teruntuk bapak, suaminya Husna. Jaga istrinya baik-baik ya, Pak. Tenang saya tidak akan menikung bapak, saya juga masih punya harga diri. Untung bapak bilang kalau bapak suami dari Husna, kalau tidak, mungkin malam ini juga saya akan melamar Husna." Diakhiri tepukan disebelah kiri bahu Gaffi.
Sialan. Pria ini benar-benar menguji kesabaran Gaffi.
David terkekeh melihat perubahan wajah Gaffi. Niat nya hanya ingin memberi teguran dan bercanda juga. "Saya pamit ya. Selamat malam."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
GAFNA
SpiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Ini kisah dua insan yang harus menikah saat Riana--- selaku majikan Husna memintanya untuk menikah dan menjadi istri dan ibu sambung untuk Dafi. "Kamu yakin mau jadi istri dan ibu...