Selamat membaca!
Ajak teman kalian untuk baca cerita ini biar semakin ramai 😊
× × ×
Gaffi bangun terlebih dahulu dan sedikit menyender pada punggung kasur. Matanya ia buka pelan-pelan dan sedikit menguap. Ia menoleh, dan mendapati wanita itu tidur di sofa yang sangat kecil dan pasti membuat tubuh wanita itu tidak nyaman. Hanya berbalut selimut tipis dan dapat dipastikan bahwa selimut itu tidak bisa berfungsi saat malama hari yang hawanya begitu dingin.
Pria itu melirik kearah jam yang bertengger didinding menunjukkan pukul sepuluh pagi. Ia sengaja tidak berangkat ke kantor, karena jadwal hari ini memang kosong, jadi ia putuskan untuk bermain bersama Dafi—anaknya saja.
Gaffi mengambil ponselnya, kemudian ia membuka sebentar untuk melihat adakah notifikasi yang masuk. Tiba-tiba raut wajah pria itu semakin muram saat tahu siapa yang mengirimi pesan.
Siapa lagi kalau bukan Zidan—Papi kandungnya Gaffi. Baru saja ia mendapatkan pesan bahwa Riana meminta anak dan menantu serta cucunya untuk makan malam bersama di rumah mereka. Gaffi yang melihatnya hanya mendengus sebal. Kenapa juga ia harus datang, tetapi jika ia tidak datang, maka Gaffi tidak akan yakin jika hari esok ia akan hidup dengan tenang. Mau tidak mau, suka tidak suka harus ia jalankan. Salah satu resiko menikah tanpa cinta ya seperti ini, didepan orang lain terlihat seperti orang yang bahagia, dibelakang layar seperti orang yang tidak saling mengenal. Sangat asing, saling menyakiti ; bukan Husna yang menyakiti, tetapi Gaffi yang masih mempertahankan ego dan gengsinya.
Gaffi berdiri dan berjalan mengarah pintu penghubung yang disana terdapat anaknya yang masih tidur dengan botol susu yang masih ia minum. Matanya sayup-sayup terbuka dan berdiam sebentar. Saat tahu ada Papanya didepan Dafi, balita itu meminta untuk menggendong.
"Papa,"
"Kenapa?"
"Unda?" Sembari celingak-celinguk mencari keberadaan Husna.
Gaffi membawa Dafi untuk menemui Bundanya yang masih tidur. Saat Gaffi berjongkok, ia bisa melihat wajah tanpa polesan apapun itu terlihat sangat cantik. Ia akui bahwa gadis ini memang begitu polos, lugu dan tulus. Namun, sayangnya rasa cinta itu belum ada di hati Gaffi.
Dafi memegang kedua pipi sang Bunda yang masih tidur. Tidak biasanya Husna bangun sesiang ini, biasanya sehabis shalat subuh gadis itu sudah bersiap untuk masak.
"Unda angun, afi au ain,"
Dafi hanya memandang Gaffi dengan tatapan memohon, seolah memintanya untuk membangunkan Husna. Dengan sangat amat terpaksa, Gaffi membangunkan Husna dengan mengguncang bahu gadis itu agar bangun.
"BANGUN!"
Husna mengerjabkan matanya, kepalanya begitu pusing dan sepertinya ia kurang enak badan. Ia terkejut saat melihat anak dan suaminya ada dihadapannya. Dafi yang tersenyum, sedangkan Gaffi yang hanya menatapnya datar. Terasa sakit memang, ya mau bagaimana lagi, lambat laun (mungkin) ia akan mulai terbiasa.
Tentu saja Husna langsung bergegas untuk bangun, ia tahu ia salah dengan bangun terlalu siang. "Maaf, Mas Gaffi, Husna sedang tidak enak badan," jujurnya.
Gaffi memutar bola matanya malas. "Halah! Banyak alasan! Dasar pemalas!"
Kedua tangan Husna langsung berubah menjadi dingin. Ia hanya bisa menunduk, menatap walau sebentar saja tidak berani. "Maaf," hanya itu yang Husna katakan.
Dafi yang melihat Bundanya sudah bangun, ia pun langsung memeluk Husna dengan sayang. "Unda udah angun?"
Sebelah tangan Husna mengusap puncuk kepala Dafi. "Sudah sayang, maafin Bunda ya bangunnya telat."

KAMU SEDANG MEMBACA
GAFNA
SpiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Ini kisah dua insan yang harus menikah saat Riana--- selaku majikan Husna memintanya untuk menikah dan menjadi istri dan ibu sambung untuk Dafi. "Kamu yakin mau jadi istri dan ibu...