GAFNA • [28]

11.4K 520 4
                                    

Selamat membaca!

xxx

Merasakan buliran air mata yang menetes di atas punggung tangan gadis tersebut. Lama kelamaan suara itu mulai memenuhi indra pendengarannya, tak lama ia membuka kedua matanya.

Ada seseorang yang menangis, kepalanya ia tundukkan dan sedikit ada pergerakan dari isakan tangis. Husna menoleh kearah kiri, mendapati sang suami yang ternyata sedang menangis.

Sebenarnya ada sedikit rasa iba melihat pria itu yang sedang menangis. Pertama kalinya selama ia sebagai istri dari Gaffi, tidak pernah sekalipun Gaffi menangis dihadapan Husna. Tanpa Gaffi sadari, Husna sudah terbangun saat mendengar suara isakan itu.

Tidak ada pergerakan sama sekali dari Husna. Ia membiarkan suaminya menangis. Mereka sama-sama terluka, tetapi mereka sama-sama tidak tahu bagaimana caranya untuk menyembuhkan luka tersebut.

"Maaf... Maaf... Maaf... ini semua salah saya, seandainya kamu tidak menolong saya, kamu tidak akan seperti ini. Kenapa kamu biarkan saya selamat dari maut?" gumam Gaffi.

Gaffi mengusap kedua matanya yang terkena lelehan air mata. Ia terkejut, pasalnya ia kira Husna masih tidur, tetapi kenapa gadis tersebut sudah bangun? Apakah gadis itu melihat ia menangis?

"Syukurlah kamu sudah bangun, saya ambilkan minum, ya?" tanya Gaffi dengan sedikit perhatian.

Tidak ada sahutan dari Husna. Gadis itu lebih memilih untuk membuang muka agar tidak bisa menatap wajah pria tersebut.

Gaffi hanya bisa membuang nafasnya dengan gusar. Ia dapat memahami perubahan sikap dari istrinya. Tetapi, itu semua tidak membuat ia patah semangat.

"Bagaimana kalau saya suapin kamu makan malam? Sedari tadi kamu belum makan apa-apa, mau ya?" tawar Gaffi lagi.

Gaffi melihat beberapa bingkisan buah yang sengaja ia pesan lewat online yang mengantarnya ke Rumah Sakit. Ia berinisiatif untuk mengupaskan kulit apel agar istrinya bisa memakannya.

Satu potongan apel yang sudah terbagi menjadi beberapa bagian itu ia berikan kearah Husna. Tetapi, tidak ada tanda-tanda gadis itu mengambil potongan apel tersebut.

"Saya suapi ya? Buka mulutmu," titah Gaffi dengan sangat pelan.

Husna menatap lekat kedua bola mata berwarna coklat itu, tiba-tiba saja emosinya menjadi tidak stabil dan membuat dirinya menjadi kesal. Entah hal apa yang dapat memicu emosi itu kembali lagi.

Husna menarik kerah baju suaminya, mata indah itu sudah dihiasi linangan air mata. Ia menahan sesak yang selama ini dipendam, hanya dirinya yang tahu bagaimana menahan segala amarah yang tanpa ia sadari tidak pernah tahu kesalahannya apa terhadap Gaffi.

"CUKUP UNTUK BERPURA-PURA KHAWATIR. CUKUP UNTUK BERPURA-PURA PEDULI SAMA AKU. AKU MENYELAMATKAN DIRIMU HANYA SEBAGAI BUKTI TANDA BAKTIKU TERHADAP SUAMIKU SENDIRI, SELAMA INI GADIS YANG SELALU KAMU SIA-SIAKAN INI BERGUNA JUGA UNTUK HIDUPMU. KU TANYA PADA DIRIMU, MAU MU APA MAS GAFFI? TIDAK CUKUPKAH LUKA YANG SELAMA INI KAU BERIKAN PADAKU?" Husna mengambil salah satu tangan Gaffi lalu mengarahkannya pada wajah gadis tersebut. Tangan pria itu langsung kaku saat tahu Husna menyuruhnya untuk memukul dan mencekik lehernya.

"SILAHKAN BERIKAN LUKA LAGI UNTUK KU, MAS GAFFI. AYO... JANGAN SIA-SIAKAN KESEMPATANMU UNTUK MEMBERIKAN LUKA FISIK MAUPUN BATIN." Tangan Gaffi masih saja terkepal kuat agar tidak menyakiti Husna.

Gaffi memeluk tubuh ringkih itu, ia peluk lalu mengusap punggung gadis itu. Ada kenyamanan yang mereka berdua rasakan, ada rasa tidak rela bila salah satu dari mereka berdua harus berpisah. Gaffi berulang kali memantapkan pilihannya, ia merasa bahwa inilah takdir yang diberikan oleh Tuhan.

GAFNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang