Selamat membaca!
Double up? Komen dan vote ya guysss!
× × ×
Sepertinya ini adalah hari yang buruk bagi Gaffi, kenapa juga ia harus datang kerumah kedua orang tuanya kalau hanya ingin melihat Husna dan Dafi saja. Padahal sudah jelas bahwa yang menjadi anak kandung mereka itu kan Gaffi. Pria itu langsung membuang mukanya, dengan perasaan yang amat jengkel.
"Kapan kalian mau nambah anak?" celetuk Riana.
Husna, gadis itu hanya menunduk dengan semburat merah dipipinya. Pandangan Zidan kini beralih melihat Gaffi dengan memasang muka sebal.
"Kapan-kapan kalau sempat," sahut Gaffi.
Riana memasang raut wajah sedih. Sebenarnya, ia sudah mengharapkan kehadiran anggota baru keluarga Ekbal. Namun, sepertinya memang susah untuk berharap kepada kedua pasangan itu yang belum menunjukkan berita bahagia mengenai kehadiran anggota baru.
"Semoga Husna cepat isi ya," ucap Riana. Kini pandangan Riana beralih ke Husna. Gadis itu hanya mengangguk, karena bibirnya terasa kelu dan sulit sekali untuk menjawab. Seperti orang yang sedang di lem mulutnya.
"Aamin, semoga saja aku segera mengandung. Siapa tahu dengan begitu Mas Gaffi akan mulai peduli terhadapku." Batin Husna.
Zidan sengaja menginjak kaki Gaffi dari bawah meja makan. Merasa ada sesuatu dibawah yang membuat dirinya meringis kesakitan, membuat Gaffi melirik sebentar. Pantas saja merasa sakit, kakinya di injak oleh Papinya. Zidan yang melihat pergerakan tidak nyaman dari anaknya itu hanya menyunggingkan senyum mengejeknya.
"Kita lihat saja Gaffi, sampai dimana kamu bertahan dengan keangkuhan kamu itu. Papi yakin perlahan kamu menerima kehadiran Husna." Batin Zidan.
"Kalian sepertinya perlu membutuhkan waktu untuk berdua agar semakin dekat," celetuk Zidan.
Gaffi melotot, ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Papinya yang selalu saja ikut campur dengan rumah tangganya. Padahal ia sudah mengikuti keinginannya untuk menikahi gadis ingusan yang umurnya masih belasan tahun itu.
Riana mengangguk riang. "Nah iya Mami setuju banget sama Papi. Gimana kalian mau ya?" tanya Riana memohon.
"Tidak perlu, Mi. Lagi pula waktu kerjaku sangat padat. Tidak punya waktu hanya berjalan-jalan tidak jelas seperti itu!" sahut Gaffi.
Perkataan Gaffi sungguh membuat hati Husna menjadi tersentil. Bagaimana tidak? Ia juga sebenarnya tidak menginginkan jalan-jalan berdua seperti itu, tetapi tidak bisakah dengan menjawab secara sopan dan sedikit memikirkan perasaan orang agar tidak sakit hati.
"Berjalan-jalan tidak jelas katamu? Kamu ini gila atau gimana sih Gaffi? Dia itu istri kamu, apa salahnya ajak istri kamu jalan? Dia itu sudah menjadi istri yang baik untuk kamu, menyiapkan segala keperluan kamu dan Dafi dengan baik. Kurang apa lagi? Apa yang kamu inginkan?" hardik Riana.
Gaffi memutar bola matanya malas. Ia paling tidak suka drama, sepertinya karena Husna, ia jadi sasaran empuk akan kekesalan kedua orang tuanya.
"Bukan gitu maksud Gaffi, Mi. Aku kan sibuk, lagi pula Husna sendiri tidak pernah mengeluh kalau dia bosan dirumah."
Kini giliran Husna yang menjawab, ia tadi tidak sengaja menatap suaminya. Tetapi melihat tatapan tajam seperti itu membuat dirinya langsung menciut.
"Iya benar, Mi. Sepertinya memang tidak perlu." Jawab Husna seadanya.
"Lagian Mami sama Papi ngapain sih repot-repot segala untuk memikirkan kita berdua. Dia gak perlu di sayang banget, Husna bukan siapa-siapa kita kalau Mami dan Papi lupa. Bisa dibilang orang asing yang beruntung saja masuk kedalam keluarga Ekbal. Dia hanya pembantu dan pengasuh Dafi. Gaffi yang anak kandung kalian saja malah diacuhkan begitu saja. Ingat Mi, Pi, dia tidak perlu disayang, nanti malah besar kepala dan jadi ngelunjak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
GAFNA
EspiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Ini kisah dua insan yang harus menikah saat Riana--- selaku majikan Husna memintanya untuk menikah dan menjadi istri dan ibu sambung untuk Dafi. "Kamu yakin mau jadi istri dan ibu...