GAFNA • [27]

11K 495 0
                                    

Selamat membaca!

Votement ya guysss!

xxx

Kedua mata itu terbuka pelan-pelan, mengerjabkan sebentar kemudian menatap atap putih yang terasa asing. Indra penciumannya itu terasa begitu menyengat, seperti bau obat-obatan. Ia mengedarkan arah pandang di sekelilingnya, ternyata ia berada di Rumah Sakit.

Ruangan ini terasa kosong, sepertinya memang tidak ada yang menjaga atau menjenguk dirinya. Badannya terasa lemas sekali dan.... kakinya kenapa terasa kaku sekali digerakkan. Ia menyibakkan selimut kemudian melihat kedua kakinya yang masih lengkap namun... agak sulit digerakkan.

Hatinya kembali ketar-ketir, apakah dirinya tidak bisa berjalan seperti semula lagi? Tanpa sadar Husna menangis, ia terlihat begitu rapuh dalam kondisi yang belum begitu pulih pasca kecelakaan itu.

"Kenapa kakiku tidak bisa digerakkan?"

"Hiks... hiks... kenapa kaku sekali digerakan?"

"TIDAK! ADA APA DENGAN KAKI KU? KAKI KU TIDAK BISA DIGERAKAN!" Teriak Husna dengan frustasi. Ia mengacak barang yang tergeletak diatas meja nakas.

Prang!

Bunyi pecahan gelas sudah terdengar jelas, Husna melihat jarum infusnya yang mengeluarkan darah. Akibat ia terlalu banyak gerak.

Gadis itu menangis histeris, kakinya sama sekali tidak bisa digerakan. Hatinya sudah diselimuti rasa takut. Bagaimana kalau dirinya tidak bisa berjalan seperti sedia kala?

Oh ayolah, dirinya hanya tinggal sebatang kara. Jika kakinya tidak bisa digerakan, lalu bagaimana caranya ia berjalan untuk berjualan. Hanya dengan berjualan, ia bisa membeli makan. Lalu bagaimana jika ini semua sudah terjadi? Husna hanya bisa meratapi nasibnya.

"Ya Allah... cobaan apa lagi yang kau ujikan padaku," ucap Husna dengan nestapa.

xxx

Tak lama melihat pintu terbuka yang memperlihatkan seseorang yang selama ini ia tunggu. Namun, melihat kondisinya yang sekarang ia jadi mengurungkan niatnya.

Gaffi benar-benar merasa de javu, ia baru saja kembali dari kantin untuk meminum kopi agar bisa menghilangkan rasa ngantuknya. Pria itu tidak pernah absen dalam menjaga Husna, bahkan ia rela tidak tidur demi menjaga sang istri dan menunggunya hingga sadar.

Pria itu melangkah maju untuk mendekati gadis itu. Ingin sekali rasanya memeluk erat hingga mengucapkan kata 'maaf' selama yang ia perbuat.

"Husna..." belum sempat berkata, ucapan Gaffi terpotong begitu saja saat mendengar istrinya berteriak.

Gaffi berusaha menghindar dari serangan Husna. Gadis itu sedang mengamuk. Ia berusaha untuk mencegah agar gadis itu tidak berbuat yang lebih buruk dari pada ini.

"PERGI! PERGI DARI HADAPANKU SEKARANG JUGA! KAMU JAHAT... KAMU KEJAM... AKU TIDAK MAU MELIHAT DIRIMU LAGI! KAMU MANUSIA KEJAM YANG PERNAH AKU TEMUI. PERGI! KAMU AKAN MENGEJEK KAKIKU KARENA SEKARANG KAKIKU TIDAK BISA DIGERAKAN! SEKARANG APA YANG KAMU MAU DARI AKU? AKU SUDAH CACAT... TINGGALKAN AKU! PERGI.... PERGI.... PERGI...."

Grep

Gaffi berusaha untuk memeluk dan menenangkan Husna. Nafas gadis itu sungguh tidak beraturan. Gaffi berusaha menggapai tombol pemanggil Dokter kemudian menekan tombol tersebut.

Berhasil.

Ya, Gaffi berhasil menekan tombol tersebut. Tak lama Dokter pun datang. Melihat kekacauan yang berasal dari ruang rawat inap membuat dirinya mengerti. Apalagi melihat infus si pasien yang ternyata mengeluarkan darah.

Dokter tersebut segera memeriksa keadaan Husna, kemudian mencoba memeriksakan kondisi kaki dari gadis tersebut. Dokter itu pun memberikan suntikan agar pasien tersebut bisa kembali tenang.

Setelah dirasa sudah tenang, Gaffi pun bertanya, "Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanyanya dengan raut khawatir.

"Pasien mengalami kelumpuhan sementara, akibat kecelakaan itu membuat kakinya kesulitan dalam bergerak. Tetapi, tidak perlu khawatir, jika Ibu nya rajin untuk belajar jalan dan rutin untuk chek up, dalam waktu dekat akan bisa kembali berjalan lagi seperti sedia kala. Dan ada satu hal lagi yang harus saya beritahu..."

Ucapan Dokter Fia terjeda sejenak, Gaffi yang mendengar ucapan itu menggantung membuat rasa penasarannya semakin bertambah. Ia sendiri mengkhawatirkan keadaan kondisi sang istri.

"Pasien mengalami tekanan berat. Akibat terlalu banyak pikiran membuat dirinya meledak seketika. Kondisi yang seperti ini bisa membahayakan dirinya, jika dirinya sedang sendiri dalam keadaan yang tertekan, bisa berbuat nekat, contohnya seperti bunuh diri. Maka dari itu, saya minta untuk pasiennya dijaga dengan baik agar bisa mengindari hal yang fatal." Jelas Dokter Fia.

Mendengar penjelasan dari Dokter Fia, kedua kaki Gaffi seketika langsung terasa lemas. Ia lupa bahwa dirinya sedang berdiri, tubuhnya langsung limbung jika ia tidak berpegang kuat pada ujung brankar.

"Bagaimana caranya untuk menghindari keadaan yang fatal, Dok?"

"Saat ini yang dibutuhkan oleh Pasien adalah dorongan untuk sembuh. Psikisnya saat ini sangat buruk, Pak. Bisa dibilang tidak baik jika beliau ditinggal sendirian. Mungkin dengan adanya orang tersayang bisa membuat Pasien jauh lebih baik dari pada sekarang. Untuk itu jalan satu-satunya adalah membuat perasaan Pasien merasa aman dan nyaman, bila dirinya merasa tertekan akan berakibat fatal seperti yang saya katakan tadi atau bisa jadi bisa mengamuk seperti tadi." Dokter Fia memperhatikan pasangan suami-istri dengan rasa kagum, pandangannya tidak pernah lepas pada sosok wanita yang sudah kembali tenang sehabis diberi obat penenang. "Tidak perlu khawatir, Pak. Jika Pasien rutin untuk belajar jalan dan menjaga keadaan hatinya, pasti semuanya bisa terkendali. Ada yang ingin ditanyakan lagi?"

"Kapan saya bisa membawa istri saya pulang, Dok?"

"Kemungkinan dua hari lagi, karena sejauh ini kondisi Pasien belum memungkinkan untuk pulang. Kita lihat nanti, apabila ada kemajuan dalam masa pemulihan, Pasien bisa pulang dari awal perkiraan. Ada lagi yang ingin ditanyakan, Pak?"

Gaffi menggeleng, ia merasa sudah sangat memahami dari beberapa penjelasan Dokter. "Tidak, Dokter. Terima kasih."

"Baik kalau begitu saya permisi."

xxx

GAFNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang