Selamat membaca!
Fyi maaf yaaa kalau up nya agak telat untuk chapter selanjutnya. Tetapi ku usahakan untuk up, kalau tidak up berarti ada kesibukan di real life😊
xxx
Gaffi melangkahkan kakinya menuju musholla yang berada di Rumah Sakit. Ia akan melaksanakan ibadah shalat maghrib.
Setelah mengambil wudhu, ia memulai shalat dengan khusyu. Tak lama ia mengakhiri shalatnya dengan salam. Tak lupa juga dengan berdoa.
Selesai melaksanakan ibadah maghrib, Gaffi ingin menemani istrinya yang berada didalam ruang rawat inap. Setelah melaksanakan transfusi darah, Husna dipindahkan dirawat inap, tinggal menunggu keadaannya yang belum pulih.
Ponsel Gaffi bergetar, kemudian melihat siapa yang menelfonnya. Ternyata Riana yang menelfon dirinya. "Assalamualaikum, Mi,"
"Waalaikumsalam, gimana keadaan Husna? Dia sudah sadar?"
Setelah dilarikan kerumah sakit, Gaffi langsung memberi kabar mengenai kondisi Husna. Memang awalnya sempat terkejut saat mendapat kabar mengenai menantunya yang kecelakaan. Gaffi melarang keras untuk kedua orang tuanya menemui dirinya. Ia hanya ingin menyelesaikan semuanya dengan usahanya sendiri. Ini semua salahnya, seandainya dia tidak berbuat keterlaluan, tidak akan Husna kabur darinya. Jadi biarlah Gaffi yang menanggung karmanya. Ya, Papinya benar, karma itu ada dan berlaku untuk dirinya yang sekarang.
"Belum, Husna masih belum sadar,"
"Mami ingin bertemu sama Husna,"
"Tidak untuk sekarang, Mi,"
"Yasudah kalau begitu, kamu jaga Husna baik-baik. Kalau ada apa-apa langsung kabarin Mami atau Papi. Kamu paham Gaffi?"
"Paham, Mi. Mami dan Papi doakan saja untuk kesembuhan Husna. Gaffi minta Mami jangan bilang sama Dafi mengenai kondisi Husna saat ini. Secepatnya Gaffi akan bawa Husna ke Jakarta."
Tut
xxx
Ceklek
Gaffi membuka kenop pintu yang berniat untuk memasuki ruangan. Ia kembali menghela nafas saat melihat istrinya masih setia menutup matanya.
Baru saja ingin duduk, ia mengernyit bingung saat melihat seorang perempuan yang sedang duduk dibangku sebelah brankar.
"Anda siapa?" tanya Gaffi.
Perempuan itu menunjuk dirinya sendiri, "Saya? Saya teman kost nya, Husna. Panggil saja Wiwin,"
Gaffi paham. Mungkin saja selama Husna tinggal di sini, ia mendapatkan teman baru. "Anda sendiri siapa? Berani-berani nya masuk kamar orang lain!" tanya balik Wiwin.
"Saya suaminya Husna." Jawabnya dengan enteng.
Mendengar kata 'suami' membuat Wiwin semakin emosi. Ia baru menyadari bahwa orang yang berada dihadapannya itu ternyata suami dari temannya sendiri. Pria itu yang telah banyak memberi Husna luka. Tanpa berfikir lama lagi, ia langsung menampar pipi tampan Gaffi.
"Dasar pria kurang ajar, bisa-bisanya Anda datang kesini. Masih punya malu buat nunjukin batang hidung Anda? Apa masih kurang setelah apa yang Anda lakukan terhadap ISTRI anda sendiri? Dasar pria gila!" hardik Wiwin.
"Apa yang Anda maksud? Tiba-tiba menampar pipi saya lalu marah-marah seperti ini. Dimanakah sopan santun Anda?" ujar Gaffi.
Wiwin tersenyum mengejek. "Sopan santun? Helowwww... bukannya Anda yang tidak punya sopan santun? Sudah enak diberi istri yang begitu pengertian, eh malah di sia-siakan seperti itu. Dasar manusia tidak bersyukur. Percuma Anda orang kaya, kalau tidak ada sopan santun. Biar kami orang pas-pasan, tapi rasa kemanusiaan kami masih ada. Sedangkan Anda? Sama sekali tidak ada."
"Lancang sekali mulut Anda. Seperti orang yang tidak disekolahkan saja."
"Lebih baik Anda berkaca terlebih dahulu, saya minta jauhin Husna! Karena Anda tidak pantas untuk sekedar bersanding dengan wanita sebaik Husna. Sudah cukup untuk luka yang selama ini Husna rasakan."
Merasa tidak terima karena memintanya untuk meninggalkan istrinya. "Tidak ada hak sama sekali Anda mengatur hidup saya. Husna adalah istri saya. Jadi saya minta Anda diam saja tanpa harus ikut campur masalah rumah tangga kami!"
Wiwin mencoba menahan sabar. Ia masih tidak terima dengan perlakuan pria itu terhadap Husna. Wiwin yang mendengar ceritanya saja terasa pilu, apalagi Husna yang merasakannya. Sudah dipastikan bahwa hidupnya selalu membatin.
"Anda harusnya beruntung bisa mempunyai istri sebaik Husna. Walaupun dia jauh dari anak dan suami, tapi disini dia masih memikirkannya. Bahkan tiap malam dia selalu nangis karena khawatir kondisi anak dan suaminya tanpa dirinya."
"Biar saya dan istri saya yang menyelesaikannya. Anda tidak perlu khawatir, saya akan membawa Husna bersama saya."
"Anda pikir saya mengizinkan? Bagaimana kalau Husna disakiti lagi?"
Gaffi menggeleng tegas. Ia dapat memastikan bahwa ia tidak akan seperti dulu lagi. Selama berjauhan dengan Husna sudah memberikan Gaffi banyak pelajaran.
"Saya janji tidak akan menyakiti istri saya lagi. Itu janji saya!"
Wiwin merasa bahwa pria ini terlihat jujur. Entah kenapa batinnya mengatakan bahwa pria ini mencintai Husna. Akhirnya Wiwin bisa melepaskan Husna bersama orang yang tepat. "Baik kalau begitu, saya pegang janji Anda. Saya pamit pulang."
Melihat kepergian Wiwin, Gaffi mengusap wajahnya sendiri. Setelah itu Gaffi mendekati Husna dengan duduk tepat di sebelah brankar. Ia terus mencium punggung tangan istrinya yang terbebas dari infus.
"Kamu tidak mau bangun? Saya sudah disini, kamu tidak mau pukul saya karena apa yang saya lakukan ke kamu itu sudah keterlaluan. Ayo... saya siap untuk mendapatkan hukuman dari kamu."
Tangan Gaffi sebelah kanan mengelus wajah Husna dengan pelan. Terasa halus dan lembut saat menyentuh wajah tersebut untuk pertama kalinya. "Ini pertama kalinya saya sentuh wajah kamu, kalau saya lihat dari dekat seperti ini kamu cantik dan manis juga. Bodohnya saya yang pernah bilang bahwa kamu tidak menarik dan tidak akan menyentuh kamu, maafkan kebodohan saya yang sudah berani bilang seperti itu. Sekarang saya sudah merasakan karmanya, ya... saya sudah mendapatkan ganjarannya selama kamu pergi. Menjadi orang tua tunggal memang tidak semudah yang diucapkan, kebiasaan-kebiasaan yang sering kamu lakukan sudah membuat hidup anak saya berubah, semenjak ada kamu, anak saya tidak merasa sendiri di saat saya bekerja di Kantor. Saya ingin memperbaiki semuanya, saya akan berusaha untuk memperbaiki diri agar bisa bersama kamu yang mempunya hati sesabar itu. Saya akan menunggumu sampai sadar, saya mulai tertarik denganmu." Jelas Gaffi.
Semenjak kepergian Husna, Gaffi banyak mengalami perubahan dalam hidupnya. Seperti lebih rajin beribadah, menyempatkan datang ke makam mendiang istrinya untuk berusaha mengikhlaskan yang memang sudah jalannya, kemudian mulai menjaga emosi dan ucapannya agar bisa terkendali.
xxx

KAMU SEDANG MEMBACA
GAFNA
SpiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Ini kisah dua insan yang harus menikah saat Riana--- selaku majikan Husna memintanya untuk menikah dan menjadi istri dan ibu sambung untuk Dafi. "Kamu yakin mau jadi istri dan ibu...