Selamat membaca!
Vote dan komentar ya guysss!
• • •
Kepulangan Dafi membuat Husna tidak merasa kesepian lagi. Untung saja balita itu sudah tertidur mengingat saat ini sudah pukul sebelas malam.
Husna sedang duduk dibalkon, membiarkan tubuhnya diterpa angin yang malam ini berhembus dengan kencang. Pandangan Husna saat ini terlihat sangat kosong, ia mulai menyusuri lamunannya. Andai kata tembok bisa berbicara, mungkin akan menceritakan kesedihan Husna. Setiap malam gadis itu selalu saja menitihkan air matanya. Barang kali sehari saja tidak membuat matanya basah, sangat amat mustahil!
Melihat banyaknya bintang diatas langit membuat Husna menatapnya. Tanpa sadar ia menangis (lagi).
"Pak, Bu, kalian apa kabar? Husna kangen kalian. Maaf kalau Husna belum sempat nyekar ke makan Ibu sama Bapak. Kalau uang Husna sudah ke kumpul, pasti Husna akan kesana. Kalau Mas Gaffi tidak mau, Husna sendiri yang akan kesana. Hiks... hiks.. Pak... Bu... kenapa sesulit ini menjalani hidup? Husna sudah berusaha untuk menjadi istri yang baik, tetapi kenapa suami Husna sendiri tidak bisa menghargainya? Bahkan mengakui saja tidak mau. Husna capek, Bu. Husna ingin menyerah, suamiku sendiri hanya menganggapku sebagai pembantu. Rasanya seperti ada ribuan belati yang siap menerjangku kapan saja. Pak, Bu, Husna merasa sendirian. Husna ingin merasakan hangatnya keluarga. Husna ingin ikut kalian, Husna ingin menyerah. Kepergian Husna mungkin tidak akan ada artinya untuk suami sendiri. Mungkin, dengan menukar nyawa bisa membuat Mas Gaffi bisa menerima kehadiranku. Hiks... hiks... sakit sekali ya Rabb." Husna menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit, bahkan saat ini lupa caranya bernafas. Terlalu banyak yang dipendam.
• • •
Sudah berulang kali Gaffi mengetuk pintu, tetapi tidak ada tanda-tanda akan dibukakan pintu tersebut. Akhirnya Gaffi membuka kenop pintu itu dengan kunci cadangan yang selalu ia pakai.
Melihat seisi rumah kosong, membuat Gaffi bertanya-tanya. Tumben sekali tidak ada gadis itu yang selalu menunggu kepulangannya. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar, terutama kamar anaknya, saat dibuka Gaffi tidak menemukan istrinya. Kemudian mengarah pada kamar mereka berdua yang tidak ada juga, mencari kearah kamar mandi juga tidak ada. Langkahnya berhenti saat mendengar suara seseorang yang sedang menangis..
Ia perlahan mendekat, mengamati tubuh kecil yang sedang memandang bintang. Tubuhnya saja bergetar hebat, menumpahkan segala unek-uneknya.
"Pak, Bu, kalian apa kabar? Husna kangen kalian. Maaf kalau Husna belum sempat nyekar ke makan Ibu sama Bapak. Kalau uang Husna sudah ke kumpul, pasti Husna akan kesana. Kalau Mas Gaffi tidak mau, Husna sendiri yang akan kesana. Hiks... hiks.. Pak... Bu... kenapa sesulit ini menjalani hidup? Husna sudah berusaha untuk menjadi istri yang baik, tetapi kenapa suami Husna sendiri tidak bisa menghargainya? Bahkan mengakui saja tidak mau. Husna capek, Bu. Husna ingin menyerah, suamiku sendiri hanya menganggapku sebagai pembantu. Rasanya seperti ada ribuan belati yang siap menerjangku kapan saja. Pak, Bu, Husna merasa sendirian. Husna ingin merasakan hangatnya keluarga. Husna ingin ikut kalian, Husna ingin menyerah. Kepergian Husna mungkin tidak akan ada artinya untuk suami sendiri. Mungkin, dengan menukar nyawa bisa membuat Mas Gaffi bisa menerima kehadiranku. Hiks... hiks... sakit sekali ya Rabb."
Tubuh Gaffi seperti ada sengatan listrik yang membuat dirinya terbujur kaku sementara.
Husna yang selama ini ia kenal gadis polos, kini terlihat seperti gadis yang kesepian. Orang yang selalu melayaninya dengan baik, kini terlihat rapuh.
Ingin sekali menerjang tubuh gadis itu dengan memberikan pelukan, mendekapnya sampai kehabisan nafas. Gaffi tidak tahu bahwa gadis yang selama ini belum ia terima kehadirannya itu bisa rapuh seperti itu.
Tidak ada makhluk di dunia ini yang sempurna. Semua pasti pernah melakukan kesalahan. Kini pilihan ada ditangan pria itu. Jika memang ia ingin mempunyai keluarga yang harmonis, jalan satu-satunya adalah Gaffi harus berubah untuk mulai menerima Husna sebagai istrinya. Tetapi, jika ia masih tetap mempertahankan keangkuhannya itu, maka siap-siap Dafi--- anak kesayangannya itu akan kehilangan Bunda yang selama ini selalu menjaga balita tersebut. Gaffi akan kehilangan sosok istri yang selalu melayaninya dengan baik.
Gaffi memang sengaja pulang malam karena ia sempat mampir ketempat salah satu tokoh baju muslimah yang dua minggu lalu ia kunjungi bersama Husna. Sayangnya, saat itu ia berucap tidak sopan membuat gadis itu mungkin tersinggung.
Ia membeli baju gamis impian istrinya itu, diam-diam ia membelinya tanpa sepengetahuan istrinya. Entah sampai kapan gamis itu akan ia berikan untuk Husna, yang jelas gamis itu akan ia simpan dulu, menunggu waktu yang tepat.
Melihat Husna yang sudah berdiri membuat dirinya tertangkap basah. Seketika ia memutar otaknya agar bisa memberikan alasan yang logis.
"Maaf, Husna tidak tahu kalau Mas sudah pulang. Husna siapkan air hangatnya," Husna berlalu begitu saja, ia sempat menghapus air matanya saat Gaffi menatapnya.
Selesai menyiapkan keperluan mandi, Husna mendekat dengan kepala menunduk. "Sudah Husna siapkan,"
Entah kemana saat ini Husna melangkah, Gaffi akan mandi terlebih dahulu. Pikirannya sedari tadi tidak pernah fokus pada aktivitas yang sedang ia lakukan semenjak mendengarkan suara gadis itu secara diam-diam.
Husna menuruni tangga dan mengarah pada dapur. Ia akan memanasi lauk yang sudah sedari tadi siang ia masak. Husna bisa masak dua kali dalam sehari, pertama untuk sarapan, kedua untuk makan siang sampai malam. Tapi tergantung keinginan sang suami, jika ia memang tidak berselera dengan masakannya, maka Husna akan kembali memasak ulang. Mengingat Gaffi paling tidak suka makanan dingin, jadi mau tidak mau Husna harus panaskan kembali.
Tidak perlu membutuhkan waktu yang lama untuk menyiapkan kembali makanan malam untuk Gaffi. Beberapa lauk sudah tersaji diatas meja makan, Husna yang mendengar suara hentakan kaki sudah bisa menduga bahwa itu Gaffi.
Menu masakan kali ini hanya sayur sop, cumi balado dan tahu goreng. Entah Husna juga tidak tahu suaminya akan menyukai masakannya kali ini atau tidak.
"Mas Gaffi suka menu nya tidak?"
"Hm," mendengar jawaban dari Gaffi, Husna segera mengambilkan makanan untuk suami.
Husna hanya berdiri saja layaknya asisten dari pria itu. Sungguh malangnya nasib gadis itu. Menikah adalah semua impian manusia, memiliki keluarga yang harmonis dengan kasih sayang berlimpah. Namun, kecil harapan Husna bila impiannya seperti itu, ia hanya bisa menunduk, menunduk dan menunduk saja, tidak pernah berdiri tegak dan memandang dunia ini yang sangat kejam.
Selagi Gaffi sedang makan, gadis tersebut menyiapkan minum dengan menuang teko berisi air kedalam gelas.
Tidak lama, setelah itu Gaffi kembali bangkit dan menuju kamarnya. Sedangkan Husna sedang mencuci piring dan gelas yang baru saja dipakai oleh Gaffi.
"Mungkin sudah saatnya, aku memilih untuk menyerah." Gumam Husna.
• • •
KAMU SEDANG MEMBACA
GAFNA
SpiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Ini kisah dua insan yang harus menikah saat Riana--- selaku majikan Husna memintanya untuk menikah dan menjadi istri dan ibu sambung untuk Dafi. "Kamu yakin mau jadi istri dan ibu...