GAFNA • [20]

13.9K 657 17
                                    

Selamat membaca!

Double up gak? Yuksss votementnya!

○○○

Setelah melakukan shalat tahajud, Husna sudah selesai berkemas. Dengan membawa tas kecil yang membawa pakaiannya yang tidak seberapa. Ia membuka lemari dan mengambil boneka kecil yang berbentuk kelinci berwarna biru--- warna kesukaan Dafi. Ya, Husna memang sengaja membeli boneka itu untuk Dafi, agar anak itu bila kangen dengan dirinya bisa memeluk boneka tersebut. Sejak saat itu Husna dengan giat menabung untuk ongkos menyekar kedua orang tua nya di kampung, dan ada sedikit sisa uang untuk membelikan anaknya boneka.

Husna memeluk boneka itu dengan erat, ia tahu ini berat, tetapi ia sudah tidak sanggup. Selama sepuluh bulan pernikahan, tidak ada tanda-tanda Gaffi untuk berubah. Hanya waktu itu saja yang menerima masakannya, tetapi selain itu tidak ada yang berubah. Masih tetap sama.

"Bunda sayang sama Dafi, baik-baik ya kamu sama Papa. Bunda pergi ya, nanti kalau Dafi kangen bisa peluk boneka ini. Bunda sangat sayang sama Dafi, tapi maaf Bunda harus pergi." Husna melepas pelukan dari boneka tersebut sembari menghapus jejak air matanya.

Tiba-tiba Husna menaruh sebuah amplop dengan berisi surat. Husna memang tidak akan pamit pada suaminya, ia tahu ini akan sangat berdosa karena ia tidak izin. Tetapi, jika ia pamit, maka dapat dipastikan tidak akan pernah ia bisa menengok kedua orang tuanya.

Amplop itu Husna letakkan diatas meja nakas, tepat disebelah gelas berisi air. Setiap bangun pasti Gaffi akan meminum air putih terlebih dahulu.

"Selamat tinggal, Mas. Husna pamit ya, jaga diri baik-baik." Husna ingin sekali memeluk tubuh besar itu yang sedang memunggungi dirinya.

Husna sempat memandangi kamar mereka berdua. Dalam beberapa bulan ini, kamar ini sudah banyak merajut kisah Husna. Tentang suka dan duka. Tak lama lagi ia akan merindukan kamar ini, tempat ia menangis dan tersenyum. Sebelum benar-benar meninggalkan anak dan suami, Husna menyiapkan baju kantor untuk suaminya. Tanda terakhir ia berbakti kepada suami.

○○○

Pagi sudah kembali menyapa dunia. Suara ayam berkokok dan sinar matahari yang malu-malu menyelinap dibalik tirai gorden.

Gaffi mengerjabkan matanya yang melihat sinar matahari menyelinap dibalik tirai. Pria itu masih belum menyadari keberadaan gadis tersebut, biasanya Husna sudah lebih dulu bangun dan menyiapkan sarapan. Melihat bangku sofa—tempat Husna tidur sudah terlihat sangat rapi. Tumben sekali, biasanya gadis itu akan membereskannya setelah selesai sarapan atau menunggu Gaffi mandi. Entah mengapa Gaffi mempunyai firasat tidak enak.

Melihat jam yang bertengger di dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Dafi juga belum bangun sepertinya, akhirnya Gaffi turun kebawah untuk memastikan bahwa gadis tersebut ada di dapur.

Entah kemana perginya Husna, saat Gaffi melihat dapur tidak ada siapa-siapa. Biasanya ada Husna yang sedang memasak. Kini, hatinya kembali dirasa ketar-ketir. Ia langsung menyusuri halaman rumah yang ternyata ia tidak menemukan keberadaan gadis tersebut. Pikiran aneh mulai menyelinap Gaffi rasakan.

"Kemana gadis itu? Mengapa tidak ada?" gumam Gaffi.

Semua sudah ia kunjungi, tidak ada keberadaan Husna. Gaffi kembali masuk kedalam kamarnya, kemudian membuka lemari mereka berdua. Betapa terkejutnya saat melihat pakaian gadis itu sudah tidak ada. Gaffi mulai hilang akal, mengapa tiba-tiba Husna pergi? Kenapa tidak izin pada dirinya? Padahal jelas-jelas Gaffi suaminya!

"Shit! Gadis itu benar-benar kabur!"

Gaffi sedari tadi mondar-mandir tidak jelas. Pikirannya saat ini terbagi-bagi. Ia menyadari ada sebuah amplop disamping gelas. Ia ambil kemudian membacanya dengan cara ia duduk dibawah ranjang. Tangannya mulai membuka isi amplop tersebut, kedua matanya sempat ia pejamkan, kemudian ia buang nafasnya.

Untuk:

Mas Gaffi

kalau menemukan surat ini, itu artinya hari sudah berganti. Aku ingin mengucapkan 'selamat pagi'. Maaf kalau aku tidak bisa menyiapkan air hangat untuk Mas Gaffi, tapi aku sudah menyiapkan baju kantornya diatas kasur, di pakai ya Mas Gaffi. Mungkin kaget, atau memang tidak sama sekali kaget saat tidak menemukanku di dapur, dan tidak juga menemukan diarea rumah, karena aku sudah tidak disini lagi, iya dirumah Mas Gaffi. Iya rumah Mas Gaffi, bukan rumah kita. Aku sadar diri bahwa memang yang paling mampu dan berkuasa ya Cuma Mas Gaffi. Aku? Hanya pajangan yang selalu bermanfaat untuk keluarga kecil kita. Ah, kita? Bukan. Karena aku dan Mas bukan menjadi kita. Kita hanya pasutri yang berpura-pura layaknya seorang suami-istri saja, selanjutnya? Seperti majikan dan pembantu, kan? Tidak perlu khawatir, karena memang aku tidak akan berharga untuk suami sendiri. Mas Gaffi, maaf kalau aku lancang, sebelumnya aku sudah menaruh rasa semenjak Mas Gaffi mengucapkan ijab kabul. Saat itu juga Husna berjanji akan menjadi ibu sambung dan istri yang baik. Husna masih banyak kurangnya, masih harus belajar untuk jadi istri yang baik. Selama ini Mas Gaffi masih kurang baik terhadap Husna, tapi tidak apa-apa, mungkin memang hatinya saja yang belum siap menerima kehadiran orang baru. Mas Gaffi tahu tidak? Saat suami sendiri bilang bahwa aku 'wanita murahan' seakan mimpi kedua kembali hadir. Rasanya ada ribuan belati yang kembali menusukku, tapi aku sadar bahwa ini nyata. Bahkan suamiku sendiri yang menghinanya, malang sekali bukan? Maaf kalau aku suka lalai dalam tugasku, masih belum bisa jadi istri yang Mas Gaffi inginkan. Mas Gaffi tahu? Dulu sewaktu Ibu masih ada, beliau berkata 'Nak, kalau seandainya kamu sudah dewasa lalu menikah, patuhilah suamimu, karena surgamu ada bersama suamimu. Seburuk-buruk nya suamimu, dia tetap suamimu. Kemanapun dia pergi, kamu mengikutinya untuk tetap bersamanya'. Sebenarnya aku tidak akan menyangkal bahwa ucapan Ibu memang benar, tapi disini ada yang keliru, mungkin ucapan Ibu hanya berlaku jika aku mempunyai suami yang baik, tetapi kali ini berbeda. Apa yang kamu bilang benar, bahwa aku hanya beruntung bertemu keluarga Ekbal. Seandainya aku tidak jadi pengasuh Dafi, mana mungkin takdir membawaku untuk menjadi istri dari Gaffi Ekbal Putra.

Dalam sujudku selalu saja ada nama suamiku, meminta untuk dibukakan pintu hatinya agar menerima kehadiranku sebagai istrinya. Mas Gaffi... aku pamit pergi. Jangan cari aku, cincin pernikahannya ku taruh disebelah meja nakas, oh iya ada boneka kelinci untuk Dafi, itu aku beli sendiri dari hasil tabunganku. Seperti yang kamu bilang bahwa aku tidak akan sanggup membeli boneka semahal Mas Gaffi. Karena aku memang bukan dari keluarga yang mampu. Jaga diri baik-baik ya Mas Gaffi, jaga kesehatan dan semangat untuk melanjutkan kehidupan selanjutnya. Husna sudah ikhlas bila Mas Gaffi ingin mengakhirkan pernikahan ini, sepuluh bulan lamanya untuk saling mengenal tapi tidak ada perubahan sama sekali. Insya Allah Husna siap, siap untuk menghadapi sidang perceraian. Titip Dafi ya Mas Gaffi, dia anak yang manis dan baik, walau bukan terlahir dari rahimku, tetapi ia sudah seperti anak kandungku. Sejak umur satu tahun aku mengurus Dafi, kali ini aku akan berpisah untuk selamanya. Terima kasih sudah menjadi suami yang baik untuk Husna, terima kasih sudah menjadi orang kedua setelah Bapak yang Husna sayang, terima kasih sudah memberikan pembelajaran hidup apa artinya kesabaran dalam rumah tangga. Tanda bakti Husna menjadi istri Mas Gaffi yang terakhir, sudah Husna siapkan makanan paling favorit Mas Gaffi dan sudah kusiapkan juga makanan untuk Dafi, nanti tinggal dipanaskan saja ya. Selamat berbahagia (tanpa) diriku yang tidak ada artinya.

Istri Baik nya Mas Gaffi

Raifa Husna.

Gaffi memeluk kertas itu, seakan-akan itu Husna. Ia salah, ia menyesal, ia mengakui bahwa kelakuannya selama ini sangat amat tidak mencerminkan suami yang baik.

"Maafkan saya, Husna. Maaf, saya terlambat untuk meminta maaf sama kamu."

Gaffi mengambil cincin pernikahan milik Husna, ia melihat cincin itu yang tersemat nama pria itu. Sedangkan cincin Gaffi tersemat nama Husna. Berulang kali ia mencium cincin milik Husna. Nasi sudah menjadi bubur, berulang kali menyalahkan diri, berulang kali menyesal tiada artinya. Gadis yang selama ini tidak ia anggap kehadirannya, kini benar-benar meninggalkan dirinya bersama anak semata wayangnya.

Poor Dafi!

Gaffi tidak akan sanggup menjawab semua pertanyaan anaknya mengenai Husna. Dirinya saja tidak akan tahu kemana gadis itu pergi.

"Maafkan Papa, Nak. Gara-gara Papa, kamu jadi kehilangan Bunda yang kedua kalinya. Maaf, Nak. Papa janji akan kembali membawa Bunda bersama kita lagi, apapun caranya, akan Papa lakukan untukmu sayangnya Papa. Bahkan kalau dengan cara yang kotor pun akan Papa lakukan. Papa menyesal, maafkan Papa, Dafi." Gumam Gaffi.

○○○

GAFNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang