GAFNA • [15]

10.3K 492 7
                                    

Selamat membaca!

Double up lagi gak? Votement nya dong guysss!

☆ ☆ ☆

Husna kembali buru-buru menyiapkan hidangan untuk dibawa kekantor suaminya. Tempat makan berwarna hijau daun itu sudah ia siapkan dengan menu kesukaan suaminya. Yup, Husna memasak udang rica-rica dan bakwan jagung. Tak lupa juga dengan potongan buah mangga yang sudah ia siapkan di tempat makan satunya yang berwarna biru muda.

"Mas Gaffi jangan sampai telat makan. Sudah Husna siapkan semua didalam tas itu," Gaffi hanya diam saja, dirinya tidak menggubris sama sekali ucapan Husna yang sudah menyiapkan segala keperluan sang suami dari pagi buta tadi.

Husna berlari saat Gaffi hendak membuka pintu mobil. Buru-buru ia menaruh paper bag disebelah kursi kemudi, Husna tahu bahwa suaminya tidak akan sudi makan masakan dirinya, tetapi ia masih saja berbaik hati dan tetap optimis. Luka dihatinya memang belum mengering, ditambah dengan luka waktu itu akibat ucapan suaminya yang menghina dirinya.

"Hati-hati dijalan Mas Gaffi, nanti Husna tunggu pulangnya." Setelah itu Gaffi melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Husna sudah seperti berbicara dengan patung hidup. Melihat kepergian Gaffi membuat Husna berdiam sebentar sebelum akhirnya ia memasuki kembali kedalam rumah.

Menaiki tangga kemudian mengarah ke kamarnya dan Gaffi. Berbicara tentang Dafi, balita itu dibawah pergi oleh Oma-Opanya kemarin, mereka bilang mau ajak Dafi liburan dan membawa perlengkapan balita itu dengan lengkap. Maka dari itu mau tidak mau Husna harus rela berpisah sementara dengan Dafi.

Sejak dua minggu yang lalu, saat kejadian itu membuat Husna tidak gentar untuk menyerah. Bahkan ia memutar otaknya bagaimana caranya agar suaminya itu mau menerima apa yang ia lakukan. Setidaknya cukup hargai dan tidak perlu untuk menyakiti hati Husna lagi.

Saat ini rumah kosong, hanya dirinya saja dirumah sebesar ini. Pekerjaan rumah sudah selesai semua, masak juga sudah ia lakukan. Kini, waktunya ia mengistirahatkan tubuhnya, mungkin sekitar satu jam saja agar tubuhnya kembali segar.

Sebelumnya, ia sudah mengunci pintu utama. Takut ada orang yang masuk.

☆ ☆ ☆

Jam makan siang akhirnya tiba, sedari tadi Gaffi hanya duduk dengan kedua tangannya yang sibuk membolak-balikkan lembar kertas yang sudah membuat kepalanya menjadi pusing.

Ia sempat melirik paper bag yang sudah ia taruh diatas meja. Tanpa berniat untuk menyentuhnya. Sebenarnya ia juga penasaran dengan menu masakan apa yang dibuat oleh gadis itu.

Gaffi menaruh asal kertas itu, kemudian menarik paper bag tersebut untuk mendekat kearahnya. Ia membuka tutup bekal makan itu, ia mencium aroma masakan yang sangat menguggah selera. Apalagi menu makanan ini adalah salah satu menu kesukaannya. Gaffi adalah salah satu orang pecinta makanan jagung, apapun masakannya yang ditambahkan jagung, pria itu akan memakannya. Sejauh ini, makanan sederhana yang selalu buat dirinya susah untuk menolaknya yaitu bakwan jagung.

Pria itu menggeram kesal, kenapa gadis itu membawakan menu makanan kesukaannya. Ah, sial!

Ingin rasanya ia menyuruh Candra-selaku sekretarisnya itu yang memakannya. Tetapi, sekretarisnya itu sedang tidak masuk karena sedang sakit.

Tak lama ia mengambil sendok, kemudian mulai menyuap kedalam mulutnya. Dan ya.... ia dibuat kaget dengan masakan istrinya itu. Eh, istri? Astaga, kenapa bisa memasak masakan seenak ini? Apakah ini salah satu sogokan agar dirinya mau peduli terhadap Husna?

Niatnya hanya ingin sekali suap saja, tanpa sadar dirinya menghabisi bekal makan siang itu. Kemudian Gaffi melirik bekal satunya lagi yang belum sempat ia buka. Ketika membukanya, ia menyunggingkan senyumnya saat melihat buah mangga.

Ia kembali menyuap saat memasukkan potongan buah mangga yang terasa sangat manis. Dan ya... Gaffi sudah selesai menghabiskan bekal itu sampai ludesss.

"Pintar juga mengambil hati suami." Gumam Gaffi.

☆ ☆ ☆

Hari cepat sekali berganti, pukul sepuluh malam, Gaffi baru saja sampai rumah. Terlihat sepi sekali dari luar, walaupun lampu depan sudah dinyalakan, tetapi seperti tidak ada tanda-tanda orang didalam rumah. Bahkan, suara Tv saja tidak terdengar.

Gaffi mengetuk pintu itu yang ketiga kalinya. Baru saja ingin mengetuk lagi, pintu sudah terbuka.

"Assalamualaikum, Mas." Husna mencium punggung tangan Gaffi.

"Waalaikumsalam." Jawab Gaffi dengan singkat.

Keduanya memasuki rumah, dengan Gaffi yang sudah duduk di sofa untuk membuka sepatunya. Tetapi, ia sudah melihat istrinya yang sedang membukakan sepatu serta kaos kakinya itu. Kemudian Husna menaruh sepatu ditempat rak sepatu yang sengaja ia taruh didekat pintu utama saat bepergian keluar rumah.

Husna melirik paper bag yang sedari dipegang oleh suaminya. Ia mengambil tas kantor dan paper bag tersebut.

"Mas Gaffi mau makan?" tanya Husna dengan menatap sebentar kemudian menunduk kembali.

"Tidak,"

"Mas Gaffi tadi Husna buat kue brownis dengan kacang almond. Mas Gaffi mau coba?"

"Kamu mencoba untuk menyogok saya dengan kue brownis?"

Husna terkekeh, dari hati yang paling jujur memang Husna ingin mengambil perhatian Gaffi. Mungkin dengan cara membuatkan makanan yang enak bisa membuat pria itu jatuh hati pada dirinya.

"Husna ambilkan ya?" tawar Husna lagi.

Gaffi tidak menjawab, ia hanya berjalan kearah meja makan. Husna yang paham dengan gerakan suaminya membuat senyumannya mengembang.

"Semoga ini awal yang baik ya Rabb." Batin Husna.

Husna menaruh sepiring kecil yang sudah berisi brownis coklat dengan kacang almond sebagai topingnya.

"Silahkan makan, Mas Gaffi," Husna memberikan senyum tipis yang sempat dilirik oleh suaminya sendiri.

Saat ini yang dirasakan oleh Husna adalah panik. Ia takut kue buatannya tidak disukai oleh suaminya. Melihat Gaffi menikmati kue buatannya membuat dirinya akhirnya bisa bernafas lega.

"Bagaimana Mas? Enak tidak?" tanya Husna dengan pelan.

"Hm,"

Hanya itu jawaban dari Gaffi, meskipun begitu sudah bisa membuat Husna senang.

Gaffi mendorong piring kecilnya kearah Husna, gadis itu hanya diam dengan pikiran yang sudah berkelana. "Kalau begitu aku cuci piringnya dulu ya,"

Belum sempat beranjak, Gaffi mencegahnya. "Siapa yang suruh untuk cuci piringnya? Saya masih mau lagi kuenya,"

Bola mata Husna seketika membesar, ia sangat terkejut dengan penuturan sang suami. Pertama kalinya Gaffi mau makan masakannya dan ingin mencoba lagi yang kedua kalinya.

Dengan perasaan senang, Husna mengangguk sambil mengambilkan beberapa potongan brownis yang sudah ia letakkan lagi di piring tersebut.

Jangan berfikir bahwa Husna duduk bersama Gaffi dengan bangku yang sama. Tidak sama sekali! Gadis itu sedari tadi hanya berdiri saja, tanpa berniat untuk duduk. Ia tahu bahwa Gaffi tidak akan pernah sudi untuk makan bersama dirinya.

Setelah selesai mencicipi brownis buatan Husna, pria itu melangkah kelantai atas. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Gaffi.

Husna hanya bisa melihat punggung itu dari kejauhan, gadis itu berniat untuk membersihkan piring kotor dan sekalian untuk mencuci bekal sang suami.

Saat membuka kotak bekal, betapa terkejutnya Husna saat tahu bahwa suaminya menghabiskan bekalnya sampai habis, sama halnya dengan kotak bekal satunya yang sudah kosong. Ini adalah makanan kedua yang Gaffi makan dari hasil masakannya sendiri.

Hari ini membuat Husna bersyukur karena banyak hal yang tidak ia duga. Melihat suaminya yang mulai mau memakan masakannya saja sudah membuat dirinya bersyukur. Setidaknya, masakannya itu tidak terbuang dan berakhir di tempat sampah.

☆ ☆ ☆

GAFNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang