Jika ada kesalahan dalam penulisan mohon diingatkan ya 😙
🔸🔸🔸
Senja mulai nampak, Leandra usai menghabiskan waktunya untuk mengunjungi makam kakek serta kedua orangtuanya.
Ia belum siap untuk pulang ke rumah Elliot. Mobil yang di kendarai Leandra berhenti, sang pengemudi kemudian turun dari mobil. Leandra mengedarkan pandangannya ke sekitar danau yang ada di depannya. Permukaan danau relatif tenang, pepohonan rindang di sekitar menambah kesan sejuk. Hanya ada beberapa manusia yang kebetulan berada di danau itu. Leandra memang membutuhkan tempat seperti ini sekarang, sepi dan tenang.
Kakinya melangkah ke bangku yang berada di tepi danau. Begitu mendudukkan diri, Leandra menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya dengan perlahan.
Leandra terus bergulat dengan pikirannya, menduga-duga reaksi Elliot begitu melihat foto yang di kirimkan oleh Dion. Kegelisahan melingkupi Leandra, ia takut jika Elliot menganggapnya masih berhubungan dengan Dion dan masih mencintai Dion.
Leandra takut jika Elliot berpikir buruk tentangnya. Tentu saja Leandra tidak ingin pernikahannya kandas begitu saja, padahal usia pernikahannya baru seumur jagung. Jika Leandra bercerai lalu menjadi janda, Dion akan lebih gencar untuk melancarkan rencananya. Pria bermuka dua tersebut adalah pria nekat, tidak menutup kemungkinan jika Dion akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
"Leandra Lloyd, kau disini?" Suara seseorang memanggil Leandra begitu sampai di dekat Leandra.
Leandra menyudahi lamunannya ketika suara maskulin menyeruak ke dalam indra pendengarannya. Ia menoleh ke sumber suara, "Kau..,?"
Leandra ingat dengan pria tersebut, itu adalah pria yang sama saat Leandra bermain drift terakhir kalinya. Kini pria tersebut juga memakai masker, di tambah mengenakan topi.
"Tidak kusangka bertemu kau disini." Pria tersebut berdiri di depan Leandra dengan posisi membelakangi Leandra, menatap hamparan danau di depannya.
"Apa kau mengikutiku?" Cicit Leandra menuduh pria itu.
"Ini tempat umum." Jawab pria bermasker menyanggah tuduhan Leandra.
"Dari banyaknya manusia, kenapa harus kau yang aku temui di tempat sepi seperti ini?" Leandra berkata masih dalam posisinya, duduk di belakang pria bermasker itu.
Leandra menatap pria di depannya dari atas hingga bawah. Pria bertubuh tinggi, mengenakan celana hitam dengan jaket hitam yang membalut tubuh pria itu.
"Mungkin kita berjodoh." Jawab pria tersebut.
"Aku sudah berjodoh, sudah bersuami." Leandra menjawab ucapan konyol pria itu.
Dari balik masker, bibir pria itu sedikit berkedut. "Lalu apa yang di lakukan wanita bersuami di tempat seperti ini? Seharusnya kau di rumah menyambut suamimu pulang kerja kan?" Sahut pria tersebut karena ini sudah waktunya pulang kerja.
Leandra menatap jam di pergelangan tangannya, "Aku ingin mampir kesini sebelum pulang." Jawab Leandra menanggapi perkataan pria itu.
"Sendiri melamun di tempat seperti ini, kau juga seperti orang putus asa." Sahut pria itu.
"Jangan sok tau!" Leandra tidak mengiyakan perkataan pria itu, padahal dirinya memang cukup putus asa saat ini.
Pria itu berkata masih tanpa menatap lawan bicaranya. "Masalah dalam hidup adalah karena dua alasan, kita bertindak tanpa berpikir atau terus berpikir tanpa bertindak." Pria itu menebak jika Leandra sedang memiliki masalah.
Leandra menyipitkan matanya, menatap pria di depannya. Perkataan pria itu tentu saja tepat karena ia disini memang untuk merenungkan masalahnya. "Bertindak tanpa berpikir atau terus berpikir tanpa bertindak." Leandra mengulanginya dalam hati.
Setelah berkutat dengan pikirannya, Leandra terdengar bersuara. "Aku tidak sempurna, aku pernah membuat kesalahan dan mungkin kesalahanku akan menjadi bumerang untuk masa depanku." Perkataan Leandra mengarah pada situasinya. Bertemu dan menaruh hati pada Dion di masa lalu adalah kesalahan terbesarnya.
Pria itu mendengarkan dengan seksama ucapan wanita yang berada di belakangnya. "Bukan masalah apa yang pernah kau lakukan, tapi kau harus bertanggung jawab dengan apa yang kau ciptakan."
"Aku tidak siap menerima hukuman atas kesalahan yang aku lakukan." Leandra takut jika Elliot menuduhnya berselingkuh kemudian menceraikannya.
Leandra tidak sadar jika setiap perkataannya, ia seperti sedang bercurhat pada pria bermasker itu.
"Kadang kepercayaan itu seperti kesempatan, tidak datang untuk kedua kalinya. Aku takut orang yang sudah memberikan kepercayaannya padaku berpikir secara tidak rasional." Leandra kembali menambahkan ucapannya.
"Jangan memegang pikiran yang membuatmu lelah, tetapi peganglah pikiran yang bisa memberikanmu kekuatan. Terkadang masalah tidak membutuhkan solusi untuk menyelesaikannya. Sebaliknya, mereka membutuhkan kedewasaan untuk mengatasinya." Pria bermasker itu memberikan masukan untuk Leandra.
Leandra sedikit berpikir atas perkataan pria di depannya, "Aku harus pulang menghadapi Elliot. Tidak akan kubiarkan Dion menang dan bertindak lebih jauh lagi!" Seru Leandra dalam hati.
Leandra beranjak dari duduknya, melangkah mendekat pada pria bermasker itu. "Terima kasih atas nasehatmu. Aku harus pulang sekarang." Leandra berucap dari balik punggung pria itu. "Aku permisi." Tanpa mendengar jawaban pria itu, Leandra melangkah menjauh dari sana.
Pria itu menoleh, menatap Leandra yang sekarang sudah menjauh bersama mobilnya.
Leandra mengemudikan kendaraannya menuju rumah Elliot, ingin segera menyelesaikan masalahnya. Berusaha menjelaskannya pada Elliot agar Elliot tidak salah paham mengenai fotonya dengan Dion, foto yang di ambil sebelum pernikahannya dengan Elliot. Ia berharap, semua yang ingin ia jelaskan pada Elliot, Elliot akan mempercayainya. Leandra tidak ingin Elliot menghilangkan kepercayaan terhadapnya.
Cerita ini murni hasil pemikiran sendiri, biar penulis makin encer mikirnya jangan lupa berikan dukungannya. Kalau malas coment, vote saja cukup.
Vote gak butuh waktu lama. Gak lebih dari 5 detik kok, bukan hal sulit bukan??? jadi jangan hanya menikmatinya tapi hargai juga jerih payah penulisnya ya....
Terima kasih. Sehat selalu untuk kalian.... 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Destiny
General FictionTidak ada perlawanan ketika tubuhnya dihempaskan ke lautan luas tersebut. Otaknya tidak merespon bahwa ia berada dalam keadaan berbahaya, tidak ada rasa panik ataupun takut. Dinginnya air laut seakan menyayat kulit, hatinya semakin membeku melihat s...