Bab 78 Kebenaran

2.8K 196 11
                                    

.
.
.
.
.
Happy Reading❤️

Handphone Daizy hampir jatuh saat mendengar suara Ruri yang heboh. Sudah 5 hari ia menanti perkembangan keadaan Aldafi, namun tidak ada kemajuan, membuat perasaannya sangat kalut.

"Kenapa ?" tanya Daizy dengan suara yang gemetar.

"Dia udah siuman !" ujar Ruri.

Betapa leganya Daizy saat ini. Rasanya seperti beban berat yang sudah ia pikul hilang begitu saja. Daizy menitikkan air matanya senang.

"Sekarang kamu di mana ?" tanya Ruri.

"Aku masih di depan kafe, kamu duluan aja, nanti aku nyusul," jawab Daizy yang langsung disetujui oleh Ruri.

Daizy mematikan panggilan teleponnya, ia duduk di kursi yang ada di dekatnya karena kakinya masih terasa lemas.

"Apakah aku harus menemuinya sekarang, apakah Dafi akan menerima kedatanganku ?" batin Daizy yang mulai bimbang.

Daizy duduk termenung di sana sampai matahari tidak menampakkan dirinya lagi. Suasana malam yang ramai menemani Daizy memikirkan apakah dia harus datang atau tidak.

Panggilan telepon dari Ruri dan Rey tidak henti-hentinya berbunyi. Beberapa pesan pun sudah mereka kirim, namun tidak ada satupun yang Daizy jawab. Ia terlalu bingung harus menjawab apa.

Setelah beberapa saat, akhirnya Daizy memutuskan untuk menemui Aldafi dan mengatakan sesuatu yang seharusnya ia katakan sejak dulu.

"Aku harus mengatakannya !" batin Daizy mantap.

Daizy menerima panggilan telepon yang entah sudah ke berapa kalinya dari Ruri. Terdengar suara omelan Ruri dari seberang sana, menanyakan ia berada di mana selama itu.

"Aku akan datang ke rumah sakit," ujar Daizy dan langsung mematikan telepon itu. Mengabaikan omelan-omelan panjang Ruri.

🍁🍁🍁

Daizy memandangi gedung yang bertuliskan 'Rumah Sakit Kamboja' sambil mengeratkan jaket Aldafi yang selama 5 hari ini selalu ia pakai. Daizy berjalan dengan mantap ke dalam rumah sakit, ia sudah membulatkan tekadnya untuk mengatakan sesuatu kepada Aldafi.

Ruri sudah memberitahu nomor kamar Aldafi sehingga Daizy bisa langsung menuju ke sana tanpa bertanya ke resepsionis terlebih dahulu.

Dari kejauhan, Daizy bisa melihat Ruri dan Rey yang sedang menunggunya di depan kamar Aldafi. Ruri langsung menyambutnya saat mengetahui kedatangan sahabatnya itu.

"Kamu dari mana aja, kok lama banget datengnya ?" tanya Ruri khawatir.

"Iya, seharusnya kamu minta jemput aku aja," tambah Rey.

"Aku enggak ke mana-mana kok, cuma duduk di sana aja," jawab Daizy sekenanya.

"Kamu sakit ya, kok pucet banget ?" Ruri memegang kedua pundak Daizy agar ia menatap ke arahnya.

"Enggak, aku enggak kenapa-kenapa kok. Tenang aja."

Daizy memalingkan wajahnya dan berjalan ke arah pintu kamar Aldafi. Ia melihat Aldafi yang tampak sehat dari kaca pintu itu. Betapa senang hatinya bisa melihat Aldafi lagi, jantungnya berdesir.

"Kak, lo enggak capek apa tiduran selama lima hari, gue aja capek yang nungguin lo bangun !" ujar Dito yang tetap saja cerewet kepada kakaknya yang baru siuman.

"Gue lebih capek dengerin bacotan lo !" ujar Aldafi dengan malas, "Ma, pa bisa keluarin spesies aneh ini enggak, Dafi pusing dengernya !"

"Apa ?!" mata Dito melotot ke arah Aldafi, "Enggak tahu terima kasih banget lo ya, emang selama lo tiduran, siapa yang nemenin, hah ?!"

My Cold Neighbor [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang