Part : 43

901 61 10
                                    

Happy reading


"Abang~ Acel mau keluar" ucap Hazel memohon pada Azlan, agar membiarkannya keluar ruangan hari ini.

"Gak boleh adek"

Hazel menarik kemeja bagian belakang Azlan. Ia agak memaksa kali ini, karena memang sangat bosan berhari-hari hanya diam dan berbaring saja.

Azlan menghela nafas sebelum ia berbalik, melihat adiknya yang masih tidak mau melepaskan tarikan kemeja bagian belakangnya.

"Sebentar aja Abang"

"Enggak, mending nonton lagi tuh Korea Korea itu"

Akhirnya Hazel melepaskan tangannya yang menarik kemeja Azlan. Lalu, menyilakan tangannya di depan dadanya.

"Kalau Acel mati sebelum Abang ajak keluar--"

"Heh! Ngomongnya!"

"Yaa makanya ayo keluar, sebentar aja"

Azlan menggeleng, terkekeh tidak ingin mengizinkan adiknya ini keluar. Ia masih trauma dengan kejadian dimana detak jantung Hazel yang hilang begitu saja.

"Yaudah kalau Abang gak mau, Acel sendiri aja"

Meskipun cukup sulit untuk bangun, karena tangan satu terhubung infus dan tangan yang lainnya masih terbalut perban tebal. Ia tetap bersikeras ingin keluar.

Azlan berdecak. Lelaki itu memang tak habis pikir pada adiknya yang sangat keras kepala.

Lihat saja sekarang, bahkan adiknya sudah berhasil berdiri sendiri tanpa batuannya.

"Bisa jalan rupanya" ledek Azlan.

Hazel tak menggubris itu semua, ia pergi ke arah kaca, takut-takut ia terlihat jelek. Karena belum mandi hari ini.

"Acel gak lumpuh! Gak perlu bantuan Abang, Acel bisa sendiri!" Ucap Hazel dengan pedenya.

"Nah, nah, mau jatuh kan"

Bahkan gadis itu bingung sendiri, kenapa badannya dipakai berjalan sedikit saja sudah sangat sakit. Ia jadi bingung, sebenarnya ia sakit apa penuaan dini.

"Yaudah oke, kita keluar cuma sebentar tapi" akhirnya Azlan menuruti kemauan Hazel.

Sebenarnya karena tak tega, Azlan tau Hazel pasti bosan disini, yang ia temui setiap hari hanya perawat yang bolak balik mengirim obat.

"Ya gak nangis juga, kan udah Abang bolehin keluar"

"Siapa yang nangis?!"

Tak berbohong, Azlan sudah melihat mata yang berkaca-kaca, mungkin jika tidak Azlan hapus, sebentar lagi bulir itu akan jatuh begitu saja.

"Katanya gak nangis, ini kenapa nangis?"

Sekarang, gadis dengan tinggi jauh dibawah Azlan itu sudah menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Azlan, dengan isakan pelan yang terdengar.

"Ya.. Abangnya.. tadi marah" ucapnya dengan suara tenggelam di sela-sela isakannya.

"Siapa yang marah?" Azlan terkekeh pelan.

"Ab... Abang"

Lelaki itu hanya bisa menghela nafas dan menahan tawa kecilnya. Ia tahu dalam keadaan sakit, kita pasti lebih mudah terbawa suasana, atau mood yang hancur tiba-tiba.

"Abang gak marah, kata siapa Abang marah? Hah?"

"Tadi.. ngomongnya.. kaya orang marah"

"Kapan?"

Kennand Perfect BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang