Happy Reading 💚
Aji memasuki ruangan putrinya yang Angga juga ada di sana.
Angga yang melihat kehadiran Aji pun langsung berdiri dan sedikit mendekatinya. "Papi mau ngapain?" tanyanya dengan nada datar.
"Bisa kamu tinggal Papi dengan Rania berdua?"
Angga sedikit ragu sebenarnya, ia masih diam memandangi Rania dengan wajah lesu.
"Saya gak akan mungkin mencelakai putri saya, dia anak saya. Dan kejadian tadi itu murni ketidaksengajaan." ucap Aji yang mengerti kekhawatiran Angga.
Angga dengan langkah ragu berjalan lambat menuju pintu keluar, ia menoleh sejenak sebelum akhirnya benar-benar keluar dari ruangan itu.
Aji menatap putrinya itu dengan tatapan sendu. Ia menggenggam tangan putrinya dan mengelusnya lembut.
Tanpa sadar air matanya menetes. "Maafin Papi sayang,"
Tak lama tangan Rania mulai bergerak, dan matanya juga perlahan terbuka. Pandangannya teralih pada seseorang yang terlihat menunduk dengan mata memerah.
"Papi,"
Aji yang mendengar itu mendongakkan kepalanya cepat. "Nak, kamu sudah sadar?" tanyanya dengan ekspresi senang.
Rania mengangguk tersenyum, papinya menangis? Apa Papinya mengkhawatirkan nya?
"Alhamdulillah ya Allah, ada yang sakit? "
Rania menggeleng lemah dengan senyum hangat.
"Maafin Papi sayang. Papi tadi benar-benar gak niat mau celakain kamu nak." ucapnya tulus dengan senyuman sendu.
Rania menangguk paham. "Papi gak marah lagi sama Rania?" tanyanya dengan ragu.
Aji menggeleng lemah. "Maafin Papi yang terlihat dingin sama Rania, Papi sayang sama kamu. Papi bersikap seperti itu karena Papi ingin Rania bisa mandiri, bisa kuat, gak manja lagi. Tapi yang Papi lakuin ternyata salah, Papi udah buat putri Papi sedih, maafin Papi." ucapnya mengatakan yang sejujurnya.
Sebenarnya Aji sudah mengikhlaskan kepergian putra sulungnya itu. Tapi di sisi lain, ia ingin mendidik putrinya agar lebih dewasa, berfikir bijak, dan tidak kekanak-kanakan. Dia takut jika sewaktu-waktu ia tidak ada lagi, Rania dengan sifat yang seperti itu akan tidak baik untuk kehidupannya. Dengan menjadikan Eza alasannya bersikap itu.
Tapi melihat putrinya yang terluka seperti itu membuatnya sungguh menyesal, ia kah dia sekasar itu? Dia tidak percaya dengan dirinya dan tangannya yang telah mendorong putrinya sendiri.
"Papi gak salah kok, Rania yang salah gak ngerti maksud Papi sebenarnya apa." ucapnya terisak.
Aji langsung memeluk putri kecilnya itu dengan hangat. "Maafin Papi sayang."
Rania masih nyaman dalam pelukan itu. "Makasih Pi, Rania seneng banget bisa pelukan sama Papi. Jika memang kondisi seperti ini bisa buat Papi dekat lagi sama Rania, Rania ikhlas Pi." ucapnya lirih.
"Jangan ngomong gitu." Aji semakin sakit rasanya mendengar pengakuan itu. Semenjak kejadian itu perubahan sikap ia berikan pada Rania, termasuk saat Rania berapa kali ingin memeluknya tapi Aji langsung mengindar. Segitu jahatnya dia pada putrinya?
"Rania mau makan sayang?" tanya Aji menawarkan sesuatu, karena ia tau putrinya belum makan siang hari ini.
Rania menggeleng lemah. "Rania gak selera makan Pi."
Ketukan pintu dari luar membuat mereka teralih. Rania mempersilahkan mereka masuk, termasuk Angga salah satunya.
"Kamu udah sadar sayang? Kenapa Papi gak kasi tau Angga?" tanya Angga dengan nada sedikit kesal.

KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA TAKDIR MENOLAK PERGI [END]
Teen FictionKetika dua insan di pertemukan dalam ikatan cinta yang suci, namun tak di landaskan rasa cinta dan karena keadaan yang memaksa, apa yang akan terjadi? Ketika saling mempertahankan harga diri, hingga tak ada satupun mengalah untuk mengakui kata hati...