Chapter|04

5.1K 595 5
                                    

Zil Gaia didera dilema karena kedatangan Jeremy, cucu suami grandma-nya dari pernikahan pertama. Bukan karena Zil tak menyukai Jeremy. Mereka justru sangat dekat selayaknya saudara kandung meskipun tak memiliki hubungan darah. Zil menyukai Jeremy yang penyayang dan hangat seperti saudara. Permasalahan yang ada karena, Jeremy datang ke Indonesia dengan grandma mereka. Bukan pula karena Zil tak menyayangi dan merindukan grandma-nya, masalahnya perempuan lanjut usia itu membawa misi di balik kedatangannya kali ini. Misi mencarikan Zil, cucu perempuannya pendamping hidup atau setidaknya seorang kekasih. Sang grandma, Kiraz Shahin memiliki keinginan untuk melihat Zil menggandeng seorang laki-laki sebelum dia meninggal. Usianya hampir 85 tahun ini dan sang grandma mulai tak sabar.

"Grandma benar-benar aneh" keluh Zil sembari mengiris steak di piring. Tak berselang lama sebelum dikunyah habis oleh gadis itu.

"Nyonya Kiraz yang terhormat bahkan mengatakan kalau aku hanya harus mencoba. Katanya gagal pun tak apa-apa, Jim. Bukankah itu sama saja dengan grandma menginginkanku untuk menikah dan seandainya tak cocok, bercerai pun tidak masalah? Tidakkah menurutmu itu gila hm?" Zil mendengus pelan.

Jeremy terkekeh menanggapi keluhan saudarinya. Calon dokter bedah saraf yang sedang melanjutkan studi di Monash itu datang memang untuk mengantarkan sang grandma dan mengunjungi Zil. Dia datang dengan kekasihnya yang juga merupakan calon dokter, sekaligus berlibur ke Bali setelah urusan di Jakarta selesai. Kekasih Jeremy adalah orang Indonesia bernama Ivanka. Keluarga gadis itu pemilik sebuah rumah sakit swasta di Jakarta, cukup besar dan bahkan memiliki fasilitas ruang rawat VIP untuk golongan atas.

Jeremy juga mengabarkan kalau sang grandma sudah mengatur beberapa pertemuan dan kencan buta untuk Zil Gaia, cucu perempuan yang sama sekali tak berniat untuk memiliki kekasih apalagi menikah.

"Wajar grandma ingin melakukannya, seharusnya kamu memang memiliki kekasih di usia sekarang" balas Jeremy, terdengar menyebalkan di telinga Zil.

Gadis itu meletakkan garpu dan pisau di atas piring yang masih menyisakan potongan-potongan daging sebelum berujar,

"Kamu tahu alasannya kenapa aku tidak mau?" balas perempuan itu.

Wajah Jeremy menggelap mendengar jawaban Zil. Laki-laki itu pun meletakkan peralatan makan dan menatap lekat pada gadis di depannya.

"Dengar, Zil! Kenapa kamu mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi? Kamu ingin menyia-nyiakan hidupmu dengan ketakutan" Jeremy mulai menasehati, dengan kata-kata yang sama selama beberapa tahun terakhir.

"Cukup, Jim! Aku tidak ingin membicarakannya" balas Zil cepat.

Perempuan itu menggeleng pelan sebelum mengalihkan pandangan mata ke luar jendela.

"Teknologi dan ilmu kedokteran sudah sangat maju, Zil Gaia Pandega" Jeremy kembali membujuk.

"Cukup!" kali ini Zil spontan berdiri dengan wajah mulai gusar.

Jeremy ikut berdiri karena saudarinya tampak marah. Dia meraih tangan gadis di hadapannya sebelum Zil pergi. Dia ingin menghabiskan waktu dengan Zil hari ini tanpa pertengkaran, saat mereka kembali membicarakan masalah yang sama.

"Baiklah, maafkan aku hm. Duduklah dan habiskan makananmu, Zil" laki-laki itu mengguncang lengan gadis yang digenggamnya erat.

Zil Gaia menengadah sebelum mengangguk pelan.

Jeremy menghela nafas lega karena gadis di hadapannya tak jadi marah. Meskipun begitu makan siang mereka tak lagi diliputi canda karena suasana hati Zil yang memburuk. Mereka makan dengan tenang dan sunyi. Gadis itu bahkan tak membalas dekapan penuh kasih dan sayang dari Jeremy saat mereka berpisah di tempat parkir restoran. Gadis itu naik begitu saja ke dalam taksi dan kembali ke kantor.

A Girl With 5% of StocksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang