Chapter|16

3.4K 461 11
                                    

Dariel membawa Zil ke garasi pribadi peninggalan Adam sebelum mereka berangkat bekerja hari ini, gadis itu menutup penuh mulutnya yang menganga dengan kedua tangan melihat deretan mobil peninggalan sang mertua.

"Kamu bisa pakai yang manapun, kamu bisa menyetir kan?" Dariel menoleh dan bahkan harus menundukkan kepala demi melihat ekspresi wajah Zil.

"Bisa kak, tapi aku tak ingin bawa mobil sendiri. Tidak bisakah kau memberikanku tumpangan saja. Turunkan aku di gedungku lalu aku ingin naik sepeda ke kantor seperti biasa" balas gadis itu.

"Kenapa?"

Dariel tak mengerti kenapa mencari cara yang sulit kalau bisa memilih yang jauh lebih mudah. Bukannya dia tak ingin memberi tumpangan, bukan hal yang buruk menghabiskan waktu di jalan dengan Zil Gaia yang ceria. Justru bagus kalau mereka bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama dan lebih saling mengenal, demi satu tahun hidup bersama yang Dariel harap berjalan tanpa masalah.

"Rekan kerjaku tidak tahu aku menikah dengan siapa, pasti aneh kalau aku tiba-tiba membawa mobil mewah ke kantor kecil kami" Zil tersenyum tipis.

"Bagaimana dengan waktu pulang, kamu harus menungguku yang kadang pulang lebih sore darimu?" timpal Dariel.

"Aku bisa naik taksi pulangnya kak, kau tak usah repot-repot menjemputku. Kalau kau tak keberatan, bisakah aku menumpang saja cuma saat berangkat?" Gadis itu mulai salah tingkah, berpikir Dariel keberatan direpoti olehnya setiap pagi. Dariel berdecak pelan.

"Kenapa aku harus keberatan, Zil Gaia? Aku hanya ingin kamu merasa nyaman" balas laki-laki itu lugas. "Baiklah, kita berangkat bekerja sama-sama, seperti keinginanmu. Mungkin hari ini aku tidak bisa, tapi aku akan menjemputmu tiap waktu pulang. Kecuali aku pulang lebih lama dari biasanya, jangan naik taksi!" lanjut Dariel.

"Terima kasih kak!" timpal Zil cepat, gadis itu merasa lega karena mendapatkan solusi.

"Lebih baik sekarang kita sarapan dan berpamitan pada grandma. Ayo!" Dariel menarik lengan gadis yang pelan-pelan menunjukkan senyuman setelah mengisyaratkan ketidak-nyamanan tadi.

Dariel sungguh tak menyukai sikap Zil yang cenderung segan dan terlalu berhati-hati dengannya. Tak peduli mereka sudah menikah, menghabiskan hari-hari bersama, dan laki-laki itu merasa sedikit jauh lebih mengenal gadis itu, Zil cenderung masih menjaga jarak terhadapnya. Dariel berharap gadis itu menganggapnya keluarga, paling tidak untuk dua tahun ke depan masa kontrak pernikahan mereka. Setelah sarapan, Zil berpamitan dengan mencium pipi grandma-nya dan menitipkan perempuan kesayangannya itu pada sang perawat. Kiraz Shahin memeluk Dariel yang juga mengucapkan kata pamit sebelum ke kantor.

Mereka kemudian berkendara dengan tenang, hingga Dariel membuka mulut dan berujar,

"Em..aku akan bertemu Emma nanti malam, besok dia harus berangkat."

Dariel tak tahu kenapa dia harus mengatakan hal tersebut pada Zil. Dalam kontrak pernikahan mereka, Dariel tak berkewajiban memberitahukan Zil mengenai hubungan dan apapun yang dia lakukan dengan Emma karena itu haknya. Zil yang memandang lurus ke depan mengerjapkan pelan matanya berkali-kali dan tak menjawab, Dariel sesekali melirik gadis di sampingnya yang belum merespon ucapannya. Ada perasaan aneh yang mendera, bahwa dia baru saja berkata pada istrinya kalau akan menemui perempuan lain. Dengan itu pun, Zil harus pulang naik taksi nanti sore, yang meskipun bukan hal besar tetapi mengganggu pikiran laki-laki itu.

"Kau pasti sedih sekali kak" cicit gadis itu.
"Kalian akan berpisah lama" ujarnya lagi. Gadis itu masih menatap lurus ke depan.

Dariel mengeratkan rahang karena respon dari istrinya dan tak menjawab ucapan Zil. Seharusnya itu respon yang wajar keluar dari bibir gadis itu, mengingat status pernikahan mereka. Tapi, seolah-olah Dariel menginginkan tanggapan lain dari perempuan di sampingnya. Dariel pikir dia sedang didera sindrom tertentu yang terjadi pada laki-laki yang sudah lama memimpikan pernikahan dan mengharapkan segala hal yang sewajarnya terjadi pada pasangan suami-istri, katakan lah contohnya kecemburuan. Mereka berkendara dengan tenang karena tak ada lagi percakapan, hingga tiba di depan gedung Zil. Lantai dua disewakan juga pada Raline yang dengan senang hati pindah dari tempat lama dan menempati rumah bekas sahabatnya. Artinya dia tak perlu tinggal jauh dari kafe tempatnya bekerja. Sepeda hijau mint milik Zil masih terparkir apik di depan kafe itu.

A Girl With 5% of StocksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang