Chapter|36

3.7K 456 12
                                    

Zil menjatuhkan scarf yang diraihnya saat dia menemukan benda yang begitu familiar baginya terjatuh di celah island table. Sebuah benda dengan ukuran berbeda yang serupa dengan miliknya, melingkar di jari manis selama setahun terakhir.

Gadis itu tertegun lama sebelum memungut benda itu dan menggenggamnya. Zil tahu kalau benda itu tak lagi tersemat di jari laki-laki yang dinikahinya karena sejak beberapa hari yang lalu dia melihat cincin lain yang dia kira sepasang dengan Emma.

Gadis itu memasukkan cincin pernikahan milik Dariel dengan perasaan terluka ke dalam tas. Dia akan menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Tak apa, sejak awal cincin itu hanya benda tanpa arti. Hanya formalitas saja dalam pernikahan mereka.

"Aku harus segera berkemas" gumam gadis itu pelan, bicara dengan dirinya sendiri.

Zil Gaia berdiri cepat saat mendengar pintu walk in closet diketuk. Dariel sudah berdiri di sana, menunggunya untuk berangkat ke kantor. Kini tinggal menghitung hari, seharusnya sekarang barang-barangnya sudah dikirimkan ke gedung lamanya tapi Zil masih menunda-nunda. Kini dia tak bisa lagi menunda, besok akhir pekan dan dia akan mengepak barang.

"Kak, hari ini kau pulanglah dulu. Aku ada janji dengan teman" gadis itu menuturkan pada Dariel di tengah-tengah perjalanan.

"Apakah lama, aku tak bisa menunggu?" Dariel balik bertanya.

Laki-laki itu kecewa. Saat tak banyak lagi waktu tersisa dengan Zil Gaia, dia masih harus mengalah pada orang lain.

"Lama, aku harus bicara dengan Raline mengenai kepindahanku" balas Zil lugas.

Bohong. Zil tak akan bertemu Raline karena sahabatnya sudah mendengar ceritanya. Dia mau tak mau jujur pada Raline yang menanggapi ceritanya dengan mulut menganga hampir satu menit lamanya. Hari ini Zil harus melihat hasil MRI rutinnya. Mama Ivanka memintanya datang ke rumah sakit, sepulang dari kantor.

Dariel mengeratkan pegangan pada kemudi saat mendengar kata pindahan. Laki-laki itu berusaha mengendalikan dan menyembunyikan emosi sebelum menjawab.

"Baiklah, jangan pulang malam-malam. Akhir-akhir ini cuaca buruk" timpal laki-laki itu.

Zil tersenyum dan mengangguk.

Mereka kemudian menghabiskan waktu di jalan dengan berdiam diri. Anehnya semakin mendekati waktu perpisahan, keduanya semakin banyak diam. Setiap hari menikmati kebersamaan dan berkutat dengan perasaan masing-masing.

Mereka kembali bicara saat tiba di depan The Petra karena Zil mengucapkan terima kasih seperti biasa dan Dariel yang menanggapi dengan anggukan kecil.

Akhir-akhir ini, Dariel selalu menunggu sedikit lebih lama dibandingkan dulu, hingga sosok istrinya benar-benar menghilang di balik pintu kantor sebelum dia sendiri berlalu pergi menuju kantornya sendiri.

Bahkan momen saat Zil Gaia berjalan keluar dari mobil menuju pintu kantornya begitu berharga baginya. Beberapa hari lagi dia tak bisa melakukan apa yang setahun terakhir menjadi rutinitasnya.

*

Zil tiba di rumah sakit sore hari, di waktu yang sama seharusnya dia tiba di kediaman warisan Adam bersama suaminya. Gadis itu duduk lama di dalam kantor Mira setelah mendengar hasil MRI. Satu hal yang ditakutinya selama beberapa tahun terakhir benar-benar terjadi. Berapa kali pun Zil membayangkan hal ini terjadi, dia seakan tak pernah siap. Gadis itu hanya bisa tertegun, dengan Mira yang berusaha menghiburnya.

Sebuah panggilan internasional dari Jeremy mengalihkan dua perempuan dalam ruang itu. Mira memberikan gadis itu privasi dan keluar.

"Segera kemari! Dokter yang menanganimu selama bertahun-tahun di Melbourne sudah mendengar hasil MRI. Jangan khawatir Zil" Suara Jeremy terdengar sedetik setelah saudarinya menerima panggilan telponnya.

A Girl With 5% of StocksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang