Chapter|17

3.3K 442 5
                                    

Zil dan Dariel hanya sarapan berdua hari ini karena grandma belum bangun. Gadis itu terpaksa berpamitan dengan hanya mengecup ringan kening Kiraz Shahin yang masih tidur, sembari menitipkan sang grandma pada perawat dan meminta perempuan itu untuk mengabari keadaan nenek kesayangannya sepanjang waktu. Zil berangkat ke kantor dengan berat hati hari ini, tak bisa dielakkan kalau kesehatan grandma-nya naik turun dan tak menentu. Ini semua karena faktor usia Kiraz Shahin, mau tak mau gejala dementia yang diderita perempuan itu cukup cepat berkembang.

"Jangan khawatir, aku sudah meminta rumah sakit mengirimkan dokter ahli ke rumah untuk grandma" Dariel melirik gadis yang masih tampak lelah sepanjang perjalanan.

Zil menoleh dan tersenyum.

"Terima kasih kak" ucapnya sepenuh hati.

"Jangan berterima kasih, kamu dan grandma keluargaku. Bukankah sudah wajar aku melakukan itu untuk keluarga sendiri?" balas Dariel cepat.

Zil mengangguk pelan dan tersenyum. Saat menoleh, gadis itu mendapati Dariel sedang menatapnya. Zil kembali tersenyum, walaupun matanya masih mengisyaratkan kepenatan dan kegelisahan karena keadaan Kiraz Shahin.

"Untuk hari ini, biarkan aku mengantarkanmu ke depan kantor dan kita pulang bersama nanti."

Dariel tak menerima bantahan. Saat dilihatnya bibir Zil membuka, laki-laki itu menempelkan jari telunjuknya di bibir sendiri, mengisyaratkan dia tak ingin mendengar penolakan. Zil yang tak punya tenaga untuk sekedar berdebat kecil dengan suaminya pun menurut. Gadis itu terdiam hingga mereka tiba di depan kantor The Petra. Dariel berhenti tepat di depan kantor istrinya. Dengan Rolls Royce warna hitam yang begitu menonjol, sehingga menarik perhatian penghuni kantor di dalam yang sudah lebih dulu datang. Mereka bertiga menempel di kaca demi berharap bisa menyaksikan momen pengantin baru, termasuk Ratu Hamzah yang mengintip dari lantai dua.

"Terima kasih, kak" Zil kembali menoleh pada Dariel yang tersenyum menanggapi ucapan gadis itu.

Dariel masih setia di sana saat gadis yang dibalut sebuah koleksi spring 1995 dari Chanel, dengan atasan berwarna nude pink dan bawahan rok pendek berwarna hitam itu membuka pintu mobil dan melangkah pergi. Rambut kecoklatan sepunggung itu diluruskan dan diikat kuncir kuda hari ini.

Mata laki-laki itu mengekor langkah istrinya, berpikir tiba-tiba kalau dia salah memilih baju. Walaupun setelan itu terlihat sangat manis pada Zil Gaia, belahan pada rok pendek di bagian paha itu terlalu berlebihan. Baru kali ini Dariel merasa dirinya memperhatikan baju yang dipakai perempuan di sekelilingnya, kekasihnya yang dulu-dulu bahkan Emma biasa memakai baju yang jauh lebih terbuka. Laki-laki itu mendesah resah, tak mengerti dengan perasaan dan sikapnya yang terlalu sensitif jika itu berkaitan dengan Zil Gaia. Dariel merasa dia semakin lama semakin tak masuk akal, sekarang dia bahkan mempermasalahkan pakaian istrinya.

Zil berdiri manis tepat di depan pintu masuk kantornya, dia menekuk kening karena Dariel tak kunjung pergi setelah dia keluar dan berdiri cukup lama di tempat yang sama, begitupun dengan laki-laki di belakang kemudi yang heran karena istrinya berdiri setia dan belum juga masuk ke dalam kantornya. Mereka seperti itu selama beberapa saat, hingga kemudian Zil yang merasa ada yang salah kembali mendekat, hendak mengetuk kaca mobil. Dariel menurunkan kaca mobil bahkan sebelum istrinya sempat mengangkat tangan.

"Kenapa belum masuk?"

"Kenapa belum pergi?" mereka menyuara bersama.

Keduanya tertawa kecil dengan mata terkunci satu sama lain, merasa konyol karena saling menunggu. Jika Zil Gaia tak menghampiri, mungkin mereka akan begitu selama seharian.

"Pergilah kak, aku akan masuk setelahnya" pinta Zil setelah tawanya reda.

"Masuklah, setelah kamu aman aku akan pergi" balas laki-laki itu.

A Girl With 5% of StocksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang