14-Bad Feeling

14.2K 819 3
                                    

Ini bukan kali pertama Lakapala tidak memberi Jani kabar. Iyah, bisa Jani katakan setelah hari di mana Lakapala mengungkapkan tentang hubungan keduanya secara terang-terangan di depan semua murid SMA Santana, hidup Jani mulai tidak tenang.

Pertama, pembullyan adik-adik kelasnya. Yang notabene nya sebagai penggemar Lakapala. Mereka lebih menyeramkan dari yang Jani bayangkan sebelumnya.

Jika dipikiran kalian, pembullyan yang identik dengan penyekapan di gudang, dilempari telur serta tepung dan lainnya, maka kalian salah. Mereka mengata-ngatai Jani.

"Lo kurus, kok Lakapala mau sih?"

"Pendek, dekil!"

Semuanya mengarah ke bodyshimming. Sebelumnya, Jani tidak terlalu memperhatikan penampilannya. Namun, hari ini saat ia berdiri di depan cermin sambil mengamati pantulan dirinya sendiri. Jani baru menyadari satu hal.

Memang tidak ada yang menarik darinya. Ia semakin jauh dari dirinya sendiri. Insicure, lagi. Helaan napas panjang keluar dari bibir tipis pucat itu. Cewek itu meraba daun bibirnya yang, kering dan pecah-pecah. Astaga, penampilan nya memang buruk sekali.

Beralih dari bibirnya, cewek itu mengamati wajahnya. Tidak berjerawat, hanya saja kusam. Jani tersenyum tipis, ekor matanya melirik alat make up yang di belikan Oma untuknya.

Benda-benda itu belum tersentuh sama sekali. Keadaan nya masih sama, sejak pertama kali di taruh Oma di meja riasnya. Kulit Jani putih, namun terlihat kering. Berbeda dengan kulitnya Jeana atau Saira yang seputih susu dan tampak licin...

Jani meringis. Semakin ia membandingkan dirinya dengan orang lain, maka ia semakin sulit untuk bisa menerima dirinya sendiri.

"Cara pakainya, gimana?" gumam Jani memegang botol kaca berukuran kecil. Cewek itu menyipitkan matanya, untuk membaca cara pakai benda itu. Lalu ia berdecak. "Besok aja!" katanya. Meletakkan kembali benda itu ke tempatnya semula.

Jani berjalan ke meja belajarnya, ia lebih senang duduk di kursi belajar. Bukan untuk belajar, tapi untuk menatap poster-poster tempat yang paling ingin ia kunjungi, nantinya yang ia pajang pada dinding di atas meja belajar nya.

"Nanti kalau dikasih ijin Papa..." ujarnya lirih. Matanya berbinar menatap poster sebuah gunung. Poster yang ia beri tanda nomor satu, artinya tempat itu yang akan ia kunjungi pertama kalinya nanti.

"Gunung Rinjani..." gumamnya. Tanpa sengaja atau karena sebuah kebetulan belaka, buku bersampul cokelat terjatuh dari rak buku Jani. "Dewi Anjani.." Ucapnya, membaca judul yang tertulis di sampul buku itu.

Bibir pucat nya melengkung senyuman tipis. Ia teringat, momennya bersama Adiba tiga tahun yang lalu. Masa-masa dimana ia dekat dengan Adiba. Saking dekatnya persahabatan mereka dulu, baju mereka harus sama. Banyak juga yang mengira kalau ia dan Adiba adalah saudara kembar karena, ke mana-mana mereka selalu bareng-bareng. Namun, keajaiban waktu mengubah segalanya. Dari yang asing menjadi tidak asing, dari yang tidak asing menjadi asing.

Jani tersenyum. "Aku perlu bantuan Adiba." ucapnya. "Lagipula dia ahli di bidang kayak gini, kan?" monolog Jani , lantas bangkit kemudian berjalan menuju lemari pakaian nya.

Cewek itu memilah-milah beberapa baju yang akan ia pakai untuk ke rumah Adiba. Rencananya juga, ia akan mentraktir Adiba berbelanja. Artinya, ia dan Adiba akan ke pusat perbelanjaan juga, kan? Masa iya, Jani memakai daster.

Pilihan Jani jatuh pada Dolman sleeve sweater berwarna cream. Sedangkan untuk celananya, Jani memilih memakai Straight Jeans abu-abu dengan sobekan kecil di bagian lututnya. Oke, untuk baju dan celana sudah pas. Tinggal tas, dan sepatu beserta aksesoris yang sesuai dengan outfit nya. Jani membuka lemari tempat ia menyimpan sepatu dan tas, pandangan nya langsung tertuju pada tas Top handle tote berwarna hitam. Sementara untuk sepatu Jani memilih memakai Ballet flats. Setelah selesai berdandan, ralat bukan berdandan tapi rapi-rapi cewek itu kemudian mengenakan Turban headband dan membiarkan rambut hitam kecokelatan nya tergerai lurus.

TENTANG LAKAPALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang