-THE END-

48.4K 1.7K 142
                                    

Bukan hanya ketiga temannya yang menyadari bahwa tubuh Lakapala semakin hari makin kurus. Arsita pun menyadari itu. Namun, yang selalu dilakukan wanita itu ialah tetap memberi Lakapala ruang sendiri. Meski ia sadar, selama ini Arsita terlalu banyak memberi Lakapala ruang sehingga keponakannya itu terlihat bermasalah.

Seperti kejadian ketika Arsita tanpa sengaja mendengar Lakapala berbicara sendiri di pinggir kolam renang, lalu tertawa, kemudian beberapa detik setelahnya Lakapala diam.

Dan kejadian itu terus berlangsung hingga Arsita memutuskan mendatangkan seorang psikiater untuk Lakapala.

Hari pertama, Lakapala mau menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh psikiater itu. Hari kedua, Lakapala tampak enggan menjawab. Hari-hari selanjutnya Lakapala memilih mengurung dirinya dikamar ketimbang keluar menemui psikiater itu.

Arsita menyerah. Dia tak lagi mendatangkan psikiater, ia tidak lagi membujuk Lakapala untuk makan. Tiga hari berlangsung, Arsita merasa keputusan nya salah. Dia kembali memohon-mohon pada Lakapala agar Lakapala mau keluar dari kamar. Atau, setidaknya mau makan sedikit saja.

Hasil nya pun masih sama hingga hari ini. Jawaban Lakapala selalu sama.

"Laka gak lapar..."

Jam dua belas malam. Ketika penghuni rumah besar itu sudah lelap. Diam-diam Lakapala menyelinap keluar tanpa sepengetahuan siapa pun. Dia berjalan kaki dari kediaman Gautama menuju sebuah danau di pinggiran kompleks.

Butuh waktu satu jam untuk sampai di sana jika berjalan kaki. Lakapala memanfaatkan waktu satu jam itu untuk mendengar kembali suara gadis pada benda pipih di genggamannya.

Bibir kering pecah-pecah itu, mengulas senyum tipis saat mendengar suara tawa pada ponsel di tangannya.

"Tawa lo selalu cantik Jani." begitu ujarnya, di tengah-tengah keheningan malam di sepanjang jalan setapak itu.

"Lo cantik." kepalanya menoleh ke sebuah semak-semak di pinggir jalan. "Dan itu sebabnya, Tuhan ngambil lo dari gue karena lo terlalu cantik, sayang."

"Lakapala?"

Kali ini mata hitam itu memandang kosong layar ponsel itu. Di sana tampak seorang pemuda memakai seragam putih abu-abu tengah tertidur di sebuah sofa. Itu, dirinya.

Kemudian sebuah tangan mungil terjulur membelai rambut hitam lebat Lakapala. Tangan itu, merupakan tangan kekasihnya. Rinjani.

"Kamu kok ganteng banget sih? Punyaku ya?"

Tanpa sadar bibir pucat itu bergerak, lantas menjawab suara gadis pada video di layar ponselnya. "iya,"

Pada durasi yang ke 13 detik, Jani membalik kamera itu hingga menampilkan wajah lugu yang selalu membuat Lakapala terluka setiap harinya, semenjak dikabarkan nya  bahwa gadis itu telah meninggal.

Saat itu juga, Lakapala menutup mata. Tak kuasa melihat wajah itu. Hatinya serasa tercabik. Perih luar biasa.

"Jani..." dia menggenggam kuat ponsel itu.

"Laka di sini aku kelihatan cantik loh? Kamu gak mau liat nih?"

"Berisik!"

"Sekarang gue mau liat wajah cantik lo Jani..." genggaman nya mengendur. Dia mengumpulkan keberanian untuk kembali memandang layar ponsel nya.

"Laka liat deh! Disini aku kayak pakai lipstik padahal nggak make!" Jani memanyunkan bibirnya. "Mau cium kamu boleh nggak?"

Kamera itu kembali memperlihatkan tubuh pemuda yang sedang tertidur miring menghadap sandaran sofa. Sedangkan tangan mungil itu menarik-narik seragam Lakapala supaya membalikkan tubuh menghadap Jani.

TENTANG LAKAPALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang