23-Back Home

9.3K 550 0
                                    

"Bibik sudah bersihkan kamarnya, Lakapala?"

Wanita paruh baya yang tengah mengupas buah apel untuk Tuan Muda nya itu, menggeleng. "Belum Tuan, Den Laka mau pulang..?"

"Dia akan pulang hari ini, jadi saya minta Bibik segera bersihkan kamarnya Lakapala. Tapi jangan memindahkan barang-barangnya, bibik tau sendiri kan bagaimana Lakapala."

"Iya, Tuan bibik mengerti."

Dika yang baru menyelesaikan sarapannya, langsung berdiri. Sedangkan wanita paruh baya yang berprofesi sebagai ART Gautama itu mengikuti Dika dari belakang sembari membawakan tas kantor Dika ke pintu utama.

"Nanti kalo Den Laka marah gara-gara bibik bersihkan kamarnya gimana Tuan?"

Dika yang hendak masuk mobil, mengurungkan niatnya. Pemuda itu tertawa kecil melihat raut Bik Dasti yang tampak takut. "Dia tidak akan marah-marah ke Bibik, tenang saja."

"Tapi waktu itu dia hampir mau pecat bibik gara-gara bibik jatuhin pulpennya, Tuan.." Kata wanita itu lagi.

"Yang berhak mecat Bibik itu saya, dia sama sekali nggak punya hak. Jadi Bik Dasti tidak perlu khawatir." Ujar Dika masuk ke dalam mobil. Namun, sebelum mobil itu melaju Dika berpesan. "Ganti sprei nya, dengan warna hitam Bik. Dia akan marah besar kalau tau saya habis macam-macam di kamarnya.." Ucap Dika membuat wanita itu mengangguk cepat.

Setelahnya mobil yang ditumpangi Dika melaju keluar dari kediaman Gautama. Pria di dalam mobil itu menyibukkan diri dengan mengecek laporan yang baru dikirim oleh sekertaris nya.

"Den Lakapala mau pulang, Tuan..?" Tanya Pak Hardi--sopir pribadi Dika.

Dika menjawab dengan gumaman karena pria itu sedang sibuk. Pak Hardi yang mengerti Tuannya sedang tidak bisa diganggu, langsung diam. Biasanya, waktu berangkat dan sepulang dari kantor pasti ada saja yang dibahas Dika. Baik, itu mengenai saham perusahaan yang naik, atau pria itu akan meminta saran tentang caranya menyikapi sikap keras kepala Lakapala.

"Nanti jemput Lakapala di sekolah ya, Pak..." kata Dika membuka suara. "Seharusnya saya yang akan menjemput nya, tapi saya ada pertemuan penting dengan klien.."

"Baik Tuan."

"Omongan Lakapala jangan terlalu dianggap serius Pak. Bapak tau sendiri kan dia itu memang kasar. Jadi saya harap Bapak bisa memaklumi nya..."

Pak Hardi terkekeh seraya mengangguk. "Saya tidak pernah tersinggung atas ucapan Lakapala. Tuan," Pak Hardi mengamati Dika melalui spion tengah mobil. "Kenapa Tuan tidak bisa akur dengan Den Lakapala..?"

"Supaya dia nggak makin semena-mena Pak." jawab Dika. "Tante Tita sering telepon Bapak..?"

Pak Hardi tidak langsung menjawab. Pria itu memikirkan ia harus menjawab apa. Alih-alih menjawab pertanyaan Dika Pak Hardi mengajukan pertanyaan. "Saya dengar-dengar Tuan akan segera menikah, apa itu benar Tuan..?"

"Jawab dulu pertanyaan saya, Pak. Apa Tante Tita sering menelpon Bapak?"

"Tidak pernah, Tuan." dusta Pak Hardi.

"Lalu darimana tante Tita tau, kalau saya mengusir Lakapala dari rumah..?"

Suasana di dalam mobil Pajero hitam itu terasa mencengkam, terlebih saat Pak Hardi membelokkan mobil ke jalan menuju Perusahaan Gautama. Pria paruh baya itu menelan ludah.

"Saya tanya sekali lagi, Pak? Apa Tante Tita pernah menelpon Bapak?" tanya Dika dengan suara tajam. "Tolong jujur, Pak.."

"Iya, Tuan. Arsita memang sering menelpon Bapak, tapi dia tidak pernah sekalipun membahas den Lakapala.." Pak Hardi memang memanggil putri Bungsu dari Banyu Gautama tanpa embel-embel seperti 'Nonya, Nona,' dan lainnya. Karena sedari kecil Arsita tidak pernah mau dipanggil menggunakan embel-embel seperti itu. Sifat Almarhumah Nyonya Lyodra--Mama Arsita--memang melekat dalam diri Arsita.

TENTANG LAKAPALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang