34-Tetap bahagia, Jani!

10.1K 584 12
                                    

"Mereka yang pantas disebut sebagai laki-laki, adalah mereka yang bersiap menaruh hatinya hanya untuk satu wanita saja."__Lakapala Bramasta Gautama.

⏮◀▶⏭

Butuh waktu lama bagi seorang gadis di dalam mobil itu untuk mengalihkan pandang dari dua orang yang baru saja berlalu dari warung makan, milik Pak Puri. Mereka bahagia, kelihatan nya. Dan semoga saja kebahagiaan itu akan berlangsung lama. Semoga, desahnya ulang dalam hati.

"Nama pendonor nya, Rinjani Aira Ningrat."

Adiba mencengkeram kuat setir mobil nya. Jawaban seorang Dokter tiga tahun yang lalu kembali terulang dalam kepala gadis itu, sehingga tanpa Adiba sadari air bening mengalir dari sudut mata. Ia menangis, seperti biasa ketika mengingat kalimat yang mampu membuat sekujur tubuh nya melemas.

"Nanti kita masuk SMA Santana ya, Diba. Kata Mama sekolah itu bagus." Ucap seorang gadis yang masih memakai seragam putih biru sambil memakan bakso tiga tahun yang lalu.

Lalu gadis di depan nya menegur saat gadis berambut hitam kecokelatan itu kembali menuangkan sambal. "Jani nanti perut kamu menceret! Kuah bakso kamu sampai merah gitu, saking kebanyakan sambal!"

"aku suka pedas, Diba!" lalu ia menyodorkan botol saus pada gadis yang memiliki tahi lalat di sudut dagunya itu. "Gak mau coba?"

"Nggak, nanti aku sakit perut."

Padahal alasan Adiba menolak kala itu, bukan karena ia akan sakit perut. Melainkan, karena ia tengah menahan rasa nyeri pada pinggang kirinya. Besoknya, Adiba tidak bisa tahan lagi saat rasa nyeri itu menjalar ke bagian punggung nya, dan terpaksa berkata terus terang pada sang Mama jika ia di diagnosis memiliki penyakit kanker ginjal.

Adiba ingat, tangisan Mamanya langsung pecah. Bahkan sang Papa yang jarang sekali memanggil Adiba dengan sebutan 'putriku' hari itu dia melontarkan kata itu pada Adiba.

"Adiba putri Papa.." hangat sekali, rasanya Adiba ingin mengulang momen itu sering-sering agar ia bisa terus merasakan pelukan sang Papa.

Namun, dua hari setelah nya Jani mengetahui tentang penyakit Adiba. Reaksi Jani sama seperti orang tuanya. Gadis itu menangis tersedu-sedu, tapi Adiba meyakinkan Jani bahwa ia tidak apa-apa padahal wajahnya yang pucat pasi membantah itu keras-keras.

"Papa lagi nyariin Adiba pendonor, Jani. Jadi kamu nggak usah khawatir...." kalimat itu adalah kalimat yang paling disesali Adiba seumur hidup nya.

Seharusnya, ia tidak mengatakan itu pada Jani. Sehingga, beberapa jam kemudian Papa nya tidak akan menerima panggilan dari rumah sakit bahwa ada orang yang mau mendonor satu ginjal nya untuk Adiba.

Dan ia sendiri, tidak akan menangis haru di pelukan Om Nimon-Kakak sang Mama. Ia juga tidak akan pernah melihat momen langka tatkala sang Papa mengecup kening sang Mama begitu lama saking gembiranya mendengar ada orang yang mau menyelamatkan nyawa putri mereka.

"Operasinya berhasil!"

Tangisan haru beberapa orang di luar ruangan operasi membuat Adiba perlahan-lahan mengerjapkan mata. Yang ia cari pertama kali setelah sadar adalah sahabatnya-Jani, sayangnya Jani tidak ada di sana. Namun, tante Alara menelepon Adiba dan mengatakan jika Jani tengah tidak enak badan.

"Boleh bicara sama Jani, nggak tante..?"

"Jani...lagi tidur Diba, nanti aja ya..."

TENTANG LAKAPALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang