Jeno menatap sendu pada bintang yang menyebar menghiasi langit malam. Udara malam yang dinginnya menusuk tulang tak mengusik Jeno sedikitpun. Ia tetap duduk tenang kursi taman halaman samping rumahnya.
Biasanya kalau malam-malam begini ia belum tidur, ada seseorang yang tiba-tiba menghampirinya dan merengek minta tidur bersama. Atau nggak, orang itu akan duduk disini bersamanya sambil bercerita panjang lebar disertai ekspresi berlebihannya.
Jeno menyesal, jika Jeno tahu orang itu akan pergi secepat ini. Jeno akan lebih banyak bicara dan menanggapi daripada hanya diam mendengarkan, Jeno akan banyak berekspresi dan menikmati setiap momen kebersamaan mereka.
Sudah lama semenjak kepergiannya, harusnya Jeno setidaknya mulai terbiasa. Namun sepertinya sendirian tak pernah cocok dengannya, mau sebanyak apapun orang yang datang menemaninya dan menghiburnya. Yang Jeno mau tetaplah Eric, saudara kembarnya sejak lahir yang bersamanya.
Tengah malam ini, lagi-lagi Jeno duduk di tempat kenangan terakhirnya bersama Eric dan mengenang kepergiannya.
Jeno tak mengerti dengan cara kerja takdir Tuhan, mengapa garis takdir Eric harus seperti itu? jika bisa, dengan senang dan lapang hati ia mau sekali menukar takdir Eric dengan takdirnya. Takdirnyaa memang tidak bagus juga namun setidaknya Eric bisa hidup tenang serta bahagia di masa remajanya.
Jeno masih menyalahkan dirinya atas kepergian Eric, ia masih menyesali kurang tanggapnya dirinya. Jeno menyesal, sedih dan kecewa tapi tak bisa bebas mengekspresikan semua emosinya itu karena yang hancur dan kehilangan eric bukan hanya dirinya.
orang tua dan adiknya juga, Jeno sebagai si sulung harus kuat dan menjadi penegak. Ia tidak boleh terlihat rapuh, ia harus terlihat utuh.
Jeno kadang bingung, ia harus bersandar pada siapa. Sejauh ini yang sering melihat titik rapuhnya hanya Ryujin namun gadis itu juga memiliki hidup yang tak mudah. Rasanya jika Jeno menghampiri Ryujin atau teman-temannya dan menunjukkan wujud aslinya yang lemah, itu akan membuatnya sangat tak tau malu karena bebannya masih tak seberapa dengan beban milik semua orang.
semua orang juga menderita.
Jeno menunduk menatap kosong pada layar handphonenya yang mati.
"Gue nggak bakal ada lagi buat lo, nggak menerima lagi curhatan lo dalam bentuk appaun. Gue pensiun jadi konsultan lo tapi kalau lo lagi rapuh dan butuh banget cerita coba deh hubungin satu orang yang menurut lo paling tau jeleknya lo dan menerima lo terus telpon dia kalau lo malu ketemu langsung"
perkataan Eric di videonya kembali singgah dipikiran Jeno.
Jeno menyalakan handphonenya, menekan ragu pada profil kontak seseorang. cukup lama ia memutuskan hingga keberaniannya terkumpul untuk menekan tombol panggil.
Tuttt....Tuttt.....Tutttt...
Jeno menyimak nada panggilan dengan was-was, sejujurnya ia pesimis juga telfonnya diangkat mengingat ini tengah malam dan terlebih lagi orang yang ditelponnya sepertinya sedang sama sedihnya seperti dia.
pangilan berakhir, Jeno tersenyum tipis menatap layar handphonenya. Ia menghela nafas pelan dan mulai beranjak masuk kedalam rumah. Sepertinya lebih baik ia tidur saja.
Jeno menggosok giginya, mencuci kakinya dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Sudah sekitar 10 menit namun rasa kantuk tak kunjung menyerangnya. Jeno meraih kembali handphonenya, melihat profil foto orang yang beberapa menit lalu di telponnya.
Drtttt..Drtttt.Drttt....
Jantung Jeno terkejut tak kala tiba-tiba layar handphonenya berubah warna menunjukkan adanya panggilan masuk. Jeno terpaku beberapa detik lalu segera mendudukkan dirinya diatas kasur dan menekann tombol hijau.
KAMU SEDANG MEMBACA
We (TELAH TERBIT)
FanfictionMenjadi seseorang yang di tinggalkan memang menyakitkan tapi menjadi yang meninggalkan juga bukan hal yang menyenangkan. Ini cerita kami tentang kami orang-orang yang tak sempurna namun berusaha saling melengkapi. -------- (Semua gambar yang ada di...