2. Not Alone

469 43 1
                                    

Setelah Pak Ilham keluar, kelas menjadi berisik. Sudah biasa, semuanya sibuk mengobrol membahas pelajaran yang tadi atau yang lainnya.

“Bil, lain kali kasih kesempatan orang lain buat jawab pertanyaan Pak Ilham. Jangan serakah!” Celetuk Abil di mejanya tanpa mau melihat ke arahku.

Aku hanya memutar bola mata dengan malas. Sudah bosan telingaku mendengarnya. Selalu seperti ini. Dia tidak suka padaku atau apa, sih? Semua yang kulakukan selalu salah di matanya.

Aku memilih diam daripada menjawab seruan Abil. Malas untuk berdebat dengannya. Lagipula, aku menjawab pertanyaan Pak Ilham karena tidak ada yang mengangkat tangan. Daripada guru muda itu menunggu terlalu lama, ya sudah aku menjawabnya.

“Kenapa, sih, lo? Sirik mulu perasaan sama orang lain!” Seru Ahmad.

“Gue gak ngomong sama lo, ya!”

“Kalau Bila gak jawab, apa lo mau jawab? Terus kenapa diam aja pas Bila gak ngangkat tangan? Lagian dia jawab pertanyaan itu karena gak ada yang mau jawab kali!”

Aku tersenyum senang mendengar ucapan Ahmad yang membelaku.

Abil mendengus kasar. Ia terlihat kesal dengan seruan Ahmad meski laki-laki itu berbicara dengan nada bercanda.

“Ya gak di setiap pelajaran Pak Ilham juga kali aktif jawabnya. Tau sendiri kalau di pelajaran yang lain kerjaannya cuma tidur, tapi anehnya gak pernah remed kalau ulangan, bikin curiga.” Tatapan sinis itu melayang padaku. Aku membalas tatapannya dengan tajam. Makin lama mulutnya Abil sudah tidak bisa ditolerir.

“Maksud lo apa ngomong kayak gitu? Nuduh gue nyontek tiap ulangan?”

“Gue gak pernah bilang lo nyontek tiap ulangan, tuh! Kenapa? Kesindir?” 

Emosiku terpancing melihat ekspresi wajah Abil yang tengil. “Kata ‘bikin curiga’ yang lo ucapin tadi mengarah kalau gue gak pernah jujur pas ulangan. Jelaslah gue kesal, gak terima lo ngomong sembarangan yang bukan faktanya!”

“Oh, emang bukan fakta?”

Aku mengepalkan tanganku dengan kesal. Ingin kucakar rasanya wajah sok cantik itu. “Emangnya lo pernah ngelihat gue nyontek pas ulangan?”

Abil diam dan menatapku dengan tajam. 

“Ribut mulu lo berdua, Bu STM udah di jalan, noh!” Peringat Ahmad.

Kemudian Abil menyeringai. “Ya lo pikir aja deh sendiri, lo bisa dapet nilai bagus tapi gak pernah belajar, emang pantas dicurigai, kan?” 

Senyum bangga terbit di bibirnya. Memang rese ni cewek. Dia tidak tahu saja cara belajarku bagaimana. Aku memang tidak begitu suka belajar di sekolah jika suasananya kurang kondusif, kecuali memang karena sangat terpaksa dan mendesak. Misalnya kuis mendadak. Aku jauh lebih suka belajar di rumah saat tengah malam. Sudah udaranya sejuk, suasananya damai dan tentram, dan otakku juga masih fresh karena baru bangun tidur.

Tidak lama kemudian, muncul Bu Siti Aminah yang sering dibilang Bu STM oleh murid-murid yang lain termasuk diriku. Beliau mengajar mata pelajaran kimia. Salah satu mata pelajaran yang sulit kukuasai. Oleh karena itu, semalam aku belajar materi yang akan diajarkan Bu STM dengan susah payah. Aku bahkan sampai bertanya pada Lukman yang jago kimia. 

*****

Sudah seminggu aku menjadi teman semeja Langit tapi tidak ada yang berubah dari sikapnya. Selalu saja ia menampilkan ekspresi datar yang membuat siapapun yang melihatnya tidak berani mengusik. Dia juga selalu sendirian. Kalau bosan di kelas, aku sering melihatnya tertidur di taman sekolah.

Jangan bilang kalau aku suka membuntuti Langit. Hanya kebetulan saja aku sering melihatnya. Lama kelamaan aku kasihan pada Langit yang selalu sendiri. Merasa sepi dalam keramaian itu kan tidak enak, apalagi jika merasa asing, rasanya ingin menghilang saja dari bumi.

Tapi... aku bingung harus mulai mengajak ngobrol Langit darimana, habis mukanya jutek banget. Aku juga takut disangka genit. Ahh ... aku jadi bingung.

Oh iya! Aku minta bantuan Alvin dan Ahmad saja. Kedua cowok itu kan gampang bergaul dengan orang lain. Aku langsung berdiri dari tempat dudukku dan pergi menghampiri Ahmad dan juga Alvin yang sedang bermain gitar sembari menyanyi di luar kelas. Kenapa aku bisa tahu kalau kedua cowok itu sedang bernyanyi? Karena itu kebiasaan mereka setiap hari, dan aku juga sudah hafal dengan suaranya. 

“Hei!” panggilku, mereka menoleh.

“Ada apa, Bil?” tanya Alvin.

“Gue boleh minta tolong gak?”

“Minta tolong apaan?”

“Ajakin Langit ngobrol, ya? Kalau bisa jadiin dia temen kalian.”

Alvin dan Ahmad menatapku dengan tatapan aneh. “Perhatian amat sama Langit, jangan-jangan lo suka, ya?”

Aku tersentak kaget mendengar tebakan Ahmad. Kenapa bisa cowok itu berpikiran ke arah sana? “Ya enggaklah!” seruku dengan suara yang nyaring hingga beberapa orang yang lewat menoleh padaku.

“Santai aja kali, Mbaknya. Kayaknya sih bener nih, suka ya sama Langit?” goda Alvin.

“Apaan, sih? Gue refleks kali. Lagian nuduh orang sembarangan.”

Ahmad dan Alvin tertawa. Dasar nyebelin. “Terus kenapa peduli amat sama Langit? dia aja kelihatannya gak peduli tuh sama lo.” 

“Kasihan ... cinta Bila bertepuk sebelah tangan.”

Tanganku rasanya sudah sangat gatal ingin mejitak kepala mereka berdua. Buat darahku mendidih saja. “Gak usah ngeledek terus, deh. Mau dijitak?” ucapku sambil menunjukkan tanganku yang siap memukul kepala kedua cowok itu.

“Cewek yang cintanya tak terbalas ternyata serem juga, gampang emosian.”

“Ahmad ihh! Rese banget sih lo?! Gue cuma kasihan sama Langit karena sendirian mulu. Merasa sepi dalam keramaian itu kan gak enak,” seruku dengan tidak sabaran. Kalau aku diam saja yang ada makin diledekin.

“Yakin nih alasannya itu?” tanya Alvin dengan nada meledek.

“Iya Alvin! Lo ketularan Ahmad deh kayaknya, makin ke sini makin nyebelin!”

Kedua cowok itu malah kembali tertawa. Cape rasanya. “Yaudah, kalau gak mau bantu gak usah!”

“Yahh ... marah. Kita bercanda doang kali, Bil. Kita bantu, kok.”

“Beneran?” tanyaku memastikan.

“Iya, supaya pujaan hati Neng Bila tidak bersedih,” jawab Ahmad. Kemudian, mereka berdua berlari kabur dariku.

“AHMAD! ALVIN!!!” teriakku. Aku tidak peduli lagi dengan tatapan orang-orang yang menatapku. Habisnya Alvin dan Ahmad rese gak ketulungan. Bikin emosi saja. 

Setelah mengatur emosiku, aku berjalan memasuki kelas. Namun tepat di ambang pintu kelas langkahku terhenti, karena ada seseorang yang menghalangi jalan. Aku mendongak karena ingin melihat orang itu. Hal yang pertema kali kulihat adalah wajah datar milik Langit, tapi yang membuatku penasaran dia terus menatapku. Aku mundur selangkah untuk membuat jarak dengannya. Lalu kulangkahkan kakiku ke sebelah kiri karena itu bagian yang bisa kulewati.

Tapi, kakiku kembali berhenti karena Langit juga melangkah ke arah yang sama. Aku berjalan ke sebelah kanan agar Langit bisa lewat, namun cowok itu juga ke arah yang sama denganku. Kami terus seperti ini sampai aku pusing. 

Aku mendongak dan menatap langit dengan heran. “Duluan,” ucapku sambil memberikan jalan untuknya. Anehnya Langit hanya diam, matanya juga tidak terlepas dariku sejak tadi. “Kenapa gak lewat? Pengen kayak tadi lagi?” tanyaku penasaran.

Langit merespon pertanyaanku dengan mengangguk. Tunggu dulu! Dia ingin seperti tadi? Berjalan ke kiri dan ke kanan tiada henti? Dasar bocah. “Jangan main-main, deh. Gue mau masuk ke kelas,” ucapku dengan nada kesal.

Langit menaikkan sebelah alisnya, lalu menundukkan tubuh tingginya hingga sejajar denganku. Aku terkejut saat dia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “Gak apa-apa, dong? Biar gue gak sendiri lagi.”

   

   

   

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang