Semenjak kejadian itu, Langit mulai bersikap aneh. Yang tadinya tidak pernah mau melirikku, kini selalu menggangguku. Dari mulai mencolok pipiku dengan pulpen, melempari kepalaku dengan gulungan kertas kecil atau penghapus, dia juga sering menggangguku ketika menulis hingga aku sering melakukan kesalahan dan membuat catatanku berantakan.
Kalau boleh aku jujur, menjadi teman semeja Langit sangatlah menyebalkan. Banyak yang bilang aku beruntung bisa duduk dengan cowok itu, karena bisa cuci mata setiap saat dan bisa modus. Tapi, bagiku duduk dengan Langit sangat menguras emosi. Dia selalu berbuat seenaknya dan tidak pernah peduli dengan sekitar. Dan yang lebih parahnya lagi, dia menyaingiku dalam rekor orang paling rajin tertidur di kelas.
Selain itu, dia membuatku tidak nyaman karena teman-teman khususnya perempuan selalu melihat ke mejaku. Mereka selalu memerhatikan Langit dan berbisik begini begitu, bahkan aku sering mendengar kalau banyak di antara mereka yang tidak suka aku duduk dengan Langit. Lagian, suruh siapa mereka tidak mau menerimaku menjadi teman semeja mereka?
Saat ini, aku sedang membantu Rahma membagikan Al-Qur'an yang disediakan oleh sekolah. Karena hari ini hari rabu, jadwal pembiasaannya adalah tadarus. Setelah selesai membagikan Al-Qur'an aku duduk kembali ke kursiku dan sempat melirik sebentar ke arah Langit. Kulihat dia hanya memejamkan matanya sambil mendengarkan musik melalui earphone. Aku bingung dengan Langit, apakah telinganya itu kuat seharian mendengarkan musik melalui earphone? Budeg baru tahu rasa!
"Gak tadarus?" tanyaku pada Langit. Habisnya dia sama sekali tidak menyentuh Al-Qur'an yang ada di mejanya.
Langit melepaskan earphonenya, lalu menatapku datar. "Tadarus?" tanyanya. Ya ampun! cowok ini apa-apaan, sih? Masa dia tidak tahu tadarus?
"Sekarang jadwalnya tadarus, baca Al-Qur'an," jawabku. Dia membulatkan bibirnya menjadi huruf O.
"I'm not a muslim." Mendengar apa yang ia ucapkan, aku membelalakan mataku dengan mulut menganga tidak percaya. Sungguh? Dia sedang tidak bercanda, kan?
"Gak usah kebanyakan bercanda, omongan itu do'a, udah baca cepetan sana!"
"Siapa yang bercanda, sih?" tanya Langit jengkel.
Aku terdiam. Jadi dia tidak berbohong? Ya ampun, kenapa aku tidak ngeh sama sekali? Padahal sangat jelas terlihat kalau dia berbeda denganku, dari dia yang tidak pernah mengucapkan salam dan sebagainya. Aku menghela napas berat. Kenapa aku jadi sedih begini?
"Oh, yaudah sorry, gue gak tau."
"Kan barusan gue kasih tau."
"Iya bawel."
"Siapa yang bawel?"
Aku menatap Langit bingung. Ini cowok ternyata gak diam-diam amat. Dari luarnya saja cuek, sok cool gitu. "Udah ah berisik! Gue mau tadarus."
"Tadarus aja kali ngapain bilang-bilang, emang gue suami lo apa?" Aku mendelik tajam ke arah Langit. Sifat menyebalkannya itu selalu saja ditunjukkan kepadaku, giliran ke yang lain boro-boro.
Kami sekelas mulai tadarus, kecuali yang non muslim. Di kelas ini ada dua orang yang non muslim, yaitu Langit dan Abil. Ketika tadarus, aku merasa ada yang memperhatikanku. Aku sedikit melirik ke samping dan melihat cowok itu sedang memangku kepalanya dengan tangan yang bertumpu pada meja sambil menatapku. Lantas, aku menelan salivaku dengan susah payah. Kemudian, aku beristighfar terlebih dahulu sebelum melanjutkan kembali bacaanku dengan khusyuk, bodo amat dengan Langit yang memperhatikanku sejak tadi.
Selesai tadarus dan mengembalikkan semua Al-Qur'an ke dalam rak yang tersedia di depan kelas, aku menoleh ke samping tepat ke arah Langit. "Tadi lo ngelihatin gue, kan?" tanyaku to the point. Aku tidak suka berbasa-basi, toh kalau misalkan tebakanku salah, aku sendiri ini yang menanggung malu. Lagian salah dirinya juga kenapa menatapku terus-terusan membuatku risih dan tidak nyaman. Memang sebegitu jeleknya ya aku?
KAMU SEDANG MEMBACA
BILANGIT (END)
Teen FictionKARYA ORISINAL ADA DI AKUN YANG LAIN (@phytagoras_) DAN TIDAK AKAN LANJUT DI SANA. --------------‐-------------------------------------------------------------------------- Bila tidak mengerti mengapa hidupnya penuh dengan drama. Setelah ia memutus...