37. Do I Love Him?

179 20 0
                                    

    Keadaan kelas benar-benar hening pagi ini, semua orang sibuk menyalin PRnya. Kebetulan hari ini memang banyak sekali PR, untungnya aku sudah mengerjakannya. Aku melirik ke arah Langit. Cowok itu juga tengah sibuk mengerjakan PR. Tumben sekali ia tidak meminta untuk menyalin hasil pekerjaanku. Alhamdulillah ia sudah ada kemajuan.

    Saat aku sedang merapikan buku-buku di atas meja. Pergerakanku mengenai ponsel mahal Langit yang tergeletak di atas meja. Ponselnya terjatuh hingga sambungan earphonenya terlepas. 

    "Haduh, maaf, Lang."

    Aku membeku di tempat saat mendengar suara yang keluar dari ponsel Langit karena sambungan earphonenya terlepas.

    Aku menatap Langit tidak percaya. Bahkan teman sekelasku pun menatap bingung Langit. Langit langsung mengambil ponselnya yang tergelatak di lantai dan mematikan suara ponsel yang kini menggema di dalam kelas yang hening.

    "Kamu ... selama ini ..."

    Langit terlihat gelagapan. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu namun bibirnya sama sekali tak mengeluarkan sepatah kata apapun.

    "Jadi, selama ini kamu dengerin murottal Al-Qur'an?"

    Tanpa mengucapkan apapun, Langit langsung keluar dari kelas. Semua orang di kelas nampak sangat terkejut. Mereka semua langsung membicarakan Langit.

    Setelah keheranan menatap kepergian Langit, kini mataku bertemu dengan Abil. Biasanya dia akan memandangku penuh ejek. Tapi, tatapannya kali ini berbeda. Ia terlihat sangat kesal dan terus menatapku tajam. Ada apa dengan Abil?

*****

    Ya Allah! Ada apa denganku? Kenapa aku selalu teringat akan Langit yang kini mulai religius? Aku benar-benar terkejut saat tahu cowok itu sering mendengarkan murattal Al-Qur'an. Kukira yang membuatnya anteng seharian itu adalah lagu-lagu masa kini, ternyata aku salah.

    Dan aku begitu tertegun saat ia mencegah laki-laki lain menyentuhku. Dia begitu menjagaku dan tidak mau aku bersentuhan dengan yang bukan mahramku. Bahkan Langit sendiripun tidak berani menyentuhku.

    Meskipun aku sedih tidak dapat ikut berpartisipasi dalam turnamen nanti, setidaknya aku sudah diakui sebagai pemain yang berguna, buktinya aku sudah lolos seleksi.

    Bayangan tentang Langit yang mengajariku selama ini terputar layaknya film. Ada banyak kenangan saat itu, aku masih mengingat jelas wajah gemasnya karena aku lama menangkap apa yang cowok itu maksud, gerakan-gerakan luwes nan lincah saat ia sedang membawa bola menuju ring basket, dan suara tegasnya kala menyuruhku lebih fokus ataupun memberitahu gerakanku yang salah. Di saat mendengar suaranya yang tegas dan beribawa, entah kenapa aku merasa jiwa kepemimpinan Langit memancar bak cahaya matahari. Langit sangat keren!

    Aahhh! Aku malah membayangkan wajah Langit. Deg-deg! Deg-deg! Haduh ... jantung kamu ini kenapa, sih? Kenapa setiap kali aku mengingat Langit kamu selalu saja berdegub sangat kencang seakan-akan hendak meloncat keluar? Dan kenapa pula wajahku jadi memanas begini? Merasa malu-malu sendiri dengan perasaan senang dan sebagainya. Aku kenapa, sih?

    Aku berguling-guling di atas kasur seperti orang yang kasmaran. Bagaimana tidak? Langit berhasil membuatku senyum-senyum sendiri karena pesannya di grup barusan. Ya, grupku bersama Langit, Ayla, dan juga Lia. Sengaja kami membuat grup seperti ini, aku tidak mau chat berduaan saja dengan Langit.

    Langit: kalau kaki kamu masih sakit, besok aku jemput, nanti aku ajak Ayla sama Lia

    AKU-KAMU? SERIUSAN LANGIT PAKE AKU-KAMU KE AKU? Kepala Langit gak kepentok tembok atau sesuatu yang keras, kan?Kubalas pesan Langit di grup, sedangkan Ayla dan Lia sudah sibuk menggodaku dengan Langit. Dasar mereka ini, pas awal kenal diam, pas sudah dekat jahilnya gak ketulungan, senang sekali menggodaku.

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang