20. Vitamin

205 29 0
                                    

    Seperti biasa setiap pulang sekolah aku berada di warung nasi Padang untuk bekerja. Setelah mengganti pakaian, aku membantu mencuci piring dan memberikan pesanan pembeli. Lelah sih, tapi rasa lelah ini akan terbayarkan nanti dengan hasil dari usahaku.

    Aku mengelap meja yang baru saja ditinggali pembeli, membersihkan sisa makanan yang tertinggal.

    "Jadi lo kerja di sini?" 

    Aku mendongak perlahan. Baru saja aku mendengar suara seseorang yang begitu familiar di telingaku. Pupilku membesar karena mendapati cowok itu di hadapanku. Bagaimana bisa ia ada di sini? 

    "La—Langit?" sahutku terbata-bata.

    Habislah sudah! Langit sudah tahu kalau aku bekerja di sini. Kalau nanti berita ini menyebar bagaimana? Orang-orang pasti akan tahu masalah keluargaku. Dan aku tidak mau itu terjadi.

    "Ngapain lo di sini?" tanya Langit dengan nada yang dingin. 

    Entah kenapa aku menjadi takut. Aku hanya menundukkan kepala, tidak berani melihat Langit yang sedang menatapku tajam.

    "Lo kerja di sini?" tanyanya lagi. Tatapan mata Langit begitu tajam dan mengintimidasi, sehingga aku tidak bisa berkutik dan malah mematung di tempat.

    "Sejak kapan?"

    Kapan sih dia berhenti bertanya? 

    "Kenapa lo mau kerja di sini?"

    "Jawab, Bil!" serunya.

    Aku menelan salivaku dengan susah payah. Kenapa aku jadi tidak berani begini pada Langit? Dia itu hanya teman sekelasku, bukan Ayah apalagi Mama. Lagipula, Mama sudah mengetahui kalau aku bekerja di sini.

    "Gue punya alasan kerja di sini," cicitku.

    "Alasan apa? Kalau lo emang lagi kesusahan bilang sama gue, pasti gue bantu. Kalau lo kerja di sini gimana bisa fokus belajar? Pantas aja lo gak minta diajarin main basket lagi," ucap Langit menggebu-gebu. Aku tidak tahu kenapa dia bisa semarah ini.

    "Bilang sama gue lo kenapa?"

    Aku diam. Tidak ada niatan sama sekali untuk menjawab.

    "Bila!" sentaknya hingga aku terkejut.

    "Ini masalah pribadi gue! Lo gak berhak tau! Gak semuanya masalah gue harus diceritain sama lo!” sungutku marah padanya. 

    Kenapa dia selalu memaksaku untuk bercerita tentang masalahku? Aku ingin menyimpannya sendiri. Aku tidak mau dikasihani oleh orang lain, karena rasanya menyakitkan. Seolah-olah aku tidak bisa mengatasi masalahku sendiri.

    "Gue emang bukan siapa-siapa lo. Tapi setidaknya gue ingin meringankan beban lo, gue ingin bantu apapun itu masalah lo." 

    "Gue masih bisa dan mampu untuk menyelesaikannya sendiri. Lagipula atas dasar apa lo mau meringankan beban gue?" 

    Napasku dan Langit memburu. Tanpa sadar aku terbawa emosi. Aku tahu niat Langit baik. Tapi, tetap saja aku merasa risih. Aku tidak mau dia masuk lebih dalam lagi dengan semua masalahku.

    "Karena gue khawatir!" seru Langit dengan penuh penekanan pada kata khawatir. 

    "Kenapa lo khawatir sama gue? Kita hanya teman sekelas, bahkan tiap hari lo gangguin gue dan selalu bikin gue kesal. Sekarang lo bilang khawatir? Lo beneran khawatir atau hanya penasaran sama masalah gue?" 

    "Gue beneran khawatir!"

    "Kenapa?”

    "Karena gue sayang sama lo!"

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang