7. Is It a Dream?

302 30 0
                                    

Hari ini aku lebih pendiam dari biasanya. Rasa malu masih hinggap kala mengingat kejadian kemarin sore. Bayangan Ayah yang memukuliku dan hal itu diketahui oleh Langit. Dan anehnya lagi Langit bersikap biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Mungkin cowok itu tidak peduli denganku. Lagipula kenapa aku berharap Langit akan peduli dan jadi bersikap baik padaku? Ini dunia yang nyata Bila, bukan di dalam dongeng.

“Bila? Bisa bantu Ibu membawa laptop dan proyektornya?” pinta Bu Riana, guru biologi yang baru saja selesai mengajar.

“Eh? Iya, Bu.” Aku sedikit tersentak kaget saat mendengar suara Bu Riana yang tiba-tiba memanggil namaku. Fokuslah belajar Bila, dan jangan pikirkan yang lain. Segera aku menghampiri Bu Riana dan merapikan proyektor yang baru saja digunakannya.

Aku tidak tahu kenapa, tapi Bu Riana seperti tertarik padaku. Padahal aku tidak suka pelajaran biologi dan jarang juga aktif di kelasnya, tapi beliau selalu mempercayaiku untuk menjadi asistennya, beliau juga sangat baik padaku, sering menanyai kabar dan sebagainya. Tentu hal ini membuat Abil semakin tidak suka padaku

Abil selalu berusaha mencuri perhatian guru untuk lebih mempercayainya, aku tidak tahu pasti apa tujuan cewek itu sebenarnya. Wali kelasku yakni Bu Endang dulu saja selalu memanggilku, hanya untuk sekedar berdiskusi untuk kelas bagaimana ke depannya, ataupun memberiku beberapa tugas yang harus disampaikan di kelas. Tapi, saat Bu Endang memanggilku, Abil selalu mengangkat tangan dan memaksa agar dirinya saja yang melakukan, hingga akhirnya Bu Endang melupakanku. 

Ada kesalahan yang pernah Abil lakukan. Saat itu, Bu STM menyuruh kami untuk melakukan percobaan dan kita harus mencari bahan-bahannya sendiri. Dan kelas kami ingin melakukannya bersama-sama agar modal yang dikeluarkan tidak terlalu banyak. Abil memiliki ide dan menyuruh kami membeli barang ini dan itu. 

Sejujurnya aku ingin menentang ide itu, karena aku merasa akan gagal dan akhirnya malah membuang-buang uang. Tapi teman-temanku pastinya tidak mau menerima asumsiku. Aku juga tidak tahu kenapa. Tapi pendapatku selalu saja ditolak. 

Akhirnya percobaan yang kami buat benar-benar gagal. Aku yang sudah membawa berbagai bahan menjadi sangat rugi, apalagi aku membelinya menggunakan uang dari Mama. Dan dimulai saat itu aku tidak menyukai Abil.

Bukan hanya itu sebenarnya. Banyak masalah lainnya yang ditimbulkan cewek itu yang membuatku tidak betah di kelas, sampai-sampai aku yang tadinya memiliki teman semeja kini duduk sendirian. 

Awal tahun pelajaran Abil belum memiliki satu teman pun di kelas. Saat itu kami semua mengajaknya bergabung, berhubung teman-teman di kelas kami lebih suka bergabung semuanya. Namun, semenjak Abil mengatur ini dan itu, teman-teman jadi berkelompok. Dan aku tidak suka ini, rasanya semua orang berubah menjadi egois dan terlalu mengejar-ngejar nilai.  

“Tolong bantu Ibu bawa ke kelas sebelas mipa tiga, ya?” Aku mengangguk menyanggupi permintaan Bu Riana. “Jangan lupa tugas rangkumannya di kumpulkan minggu depan!” peringat Bu Riana sebelum meninggalkan kelas.

“Iya, Bu!”

Saat aku dan Bu Riana berjalan di koridor, ada dua murid laki-laki datang menghampiri Bu Riana, mereka menyalami Bu Riana lalu salah satu diantara mereka mengajak Bu Riana berbincang. Aku yang membawa barang-barang berat ini merasa pegal. Kenapa pula cowok itu mengobrol begitu lama?

“Mau aku bantu?” 

Refleks aku menoleh ke samping. Betapa terkejutnya aku saat melihat orang yang tadi berbicara padaku. Dia, cowok yang selalu kulihat di masjid saat hendak melaksanakan shalat Dhuha. Cowok itu tersenyum manis, dan mengambil alih proyektor dari tanganku beserta kabel-kabelnya.

“Ada apa?”

Aku menggeleng dengan cepat saat sadar telah memperhatikan cowok itu sejak tadi. “Gak apa-apa, makasih, ya?”

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang