15. Breakfast

221 29 0
                                    

Sekarang, setiap pulang sekolah, aku harus ke warung nasi padang untuk bekerja. Setelah berganti pakaian, aku langsung disibukkan dengan mengantar pesanan dan mencuci piring. Alhamdulillah! Hari ini banyak sekali pelanggan meskipun aku sedikit kewalahan, mungkin karena belum terbiasa.

Tepat pukul sepuluh malam, warung nasi padang ini tutup dan semua menunya habis terjual. Butuh waktu sekitar sepuluh sampai limabelas menit di angkot, lalu dihabiskan waktu hampir se jam lamanya untuk jalan kaki. Rumahku memang cukup jauh. Jika saja ada angkot yang masuk ke dalam gardu, mungkin tidak akan memakan waktu selama itu.

Pukul sebelas lewat aku baru sampai di rumah. Aku melihat Mama ada di teras, sepertinya ia sedang menungguku.

"Assalamu'alaikum!" salamku.

"Wa'alaikumussalam!" Mama bangkit dan langsung menghampiriku. "Kemana aja? Kenapa baru pulang?" tanyanya dengan nada khawatir.

Aku menunduk, bingung harus bagaimana menjelaskannya. Aku takut Mama tidak akan setuju jika aku bekerja di warung nasi padang setiap hari dan pulang hampir tengah malam seperti ini.

"Tadi-"

"Tadi apa? Kenapa bisa baru pulang jam segini?"

Aku menghela napas panjang, "Maaf, Ma. Bila gak bilang sama Mama kalau Bila kerja di warung nasi padang," ucapku pada akhirnya.

Kulihat Mama mengembuskan napas lega. "Harusnya kamu bilang dulu sama Mama ada di mana dan lagi ngapain. Mama khawatir Bila kenapa-kenapa."

"Maaf, Ma."

"Bila kerja di warng nasi padang yang ada di mana?"

"Di deket masjid besar itu, Ma, yang di pertigaan persis di samping indomart."

"Ohh di situ. Terus pulangnya naik ojek, kan?"

Aku menggeleng, bagaimana mau naik ojek? Ongkos pun tidak ada, dan kunci motorku masih disita. Alhasil dengan terpaksa aku harus jalan kaki.

"Astaghfirullah! Nanti Mama cari kunci motornya. Bila gak boleh jalan kaki lagi, nanti kamu sakit karena kecapean."

"Iya, Ma." Aku mengangguk. "Tapi, Mama ngizinin Bila kan buat kerja di sana?"

"Mama sebenarnya gak mau ngizinin, tapi Mama gak bisa jamin kita bisa makan di hari-hari berikutnya kalau cuma mengandalkan Mama. Maaf, Mama harus merepotkan Bila. Mama belum bisa jadi orang tua yang baik buat Bila."

Mataku memanas kala mendengar Mama meminta maaf. "Mama gak salah apa-apa kenapa harus minta maaf? Justru buat Bila, Mama adalah orang tua yang paling hebat, dan Bila bersyukur punya Mama."

"Mama juga bersyukur punya anak seperti Bila."

Kami berpelukan, menyalurkan rasa yang dipendam.

"Ya sudah, kamu bersih-bersih terus makan, ya?"

Mama pasti kaget aku jalan kaki sejauh itu. Sebenarnya, setiap pagi aku akan jalan kaki menuju tempat angkot atau mungkin sampai sekolah. Beruntungnya ada tetanggaku yang searah tempat kerjanya dengan sekolahku. Jam pulang kerjanya pun hampir sama dengan jam pulang sekolah, aku hanya perlu menunggu sekitar setengah jam agar kami bisa pulang bersama.

Kini, aku berada di meja makan bersama Mama. Miris melihat porsi makan kali ini yang hanya cukup untuk satu orang. Tapi, Mama membaginya dengan memberikanku nasi lebih banyak. Aku tidak tega jika Mama harus makan lebih sedikit.

"Kebanyakan, Ma. Bila udah agak kenyang soalnya," bohongku. Aku belum makan dari jam empat sore sampai sekarang, tentu saja aku sangat lapar. Tapi, aku tidak mau serakah dengan membiarkan Mama kelaparan. Aku tahu, Mama pasti belum makan karena menungguku.

"Gak apa-apa, kan kamu cape habis kerja, sekarang harus makan banyak."

"Tapi Ma, Bila beneran agak kenyang, takut gak abis nanti mubazir." Aku menuangkan separuh nasiku ke piring Mama. "Buat Mama aja."

Mama menatapku keheranan, "Beneran gak mau?"

Dengan cepat aku menggeleng, "Mama aja yang makan."

"Ya sudah kalau begitu."

Aku tersenyum melihat Mama makan dengan lahap, meskipun dengan lauk seadanya.

*****

Pagi ini, tidak ada guru di kelas. Pak Bagas selaku guru kesenian sedang berhalangan hadir, sehingga beliau hanya memberi kami tugas untuk merangkum materi di buku paket. Suasana cukup kondusif jika geng'an Ahmad tidak berisik dan beberapa siswi tidak heboh menonton film di layar laptop mereka.

Aku memegang perutku sambil terus fokus menulis. Semalam aku tidak cukup makan, dan tadi pagi tidak sempat sarapan karena aku kesiangan. Rasa nyeri di perutku semakin menjadi-jadi. Aku memutuskan untuk istirahat sejenak dan mencoba tidur.

Oh iya! Aku kan bawa bekal. Apa aku harus memakannya sekarang? Mungkin dengan mengisi perutku yang kosong, rasa nyerinya akan mereda. Tapi, nanti siang aku makan apa? Aku kan tidak punya uang jajan. Mana nanti sore harus kerja lagi. Ya Allah! Bila bingung.

Tuk!

Aku mendongak karena mejaku terhentak, seperti ada sesuatu yang baru saja ditaruh di atasnya. Dua mangkuk bubur ayam dan dua gelas teh hangat kini tertangkap jelas oleh mataku. Aku menoleh ke arah Langit dan menatapnya dengan penuh tanda tanya.

"Makan," ucapnya singkat padat dan jelas.

"Hah?"

Langit menoleh padaku lalu memberikanku obat maag, "Minum obat dulu, terus makan buburnya."

"Lo tadi ke kantin beli ini?"

"Hm."

"Terus beli buat gue juga?" tanyaku tidak percaya.

"Gak usah geer, gue malu makan sendiri."

Ohh ... jadi Langit minta ditemenin makan. Wahh! Lumayan deh dapat makanan gratis. Memang rezeki itu gak akan kemana. Tapi, kenapa Langit kasih aku obat maag? Apa dia tahu aku sedang sakit perut?

"Terus ini obat maag buat apa?"

"Gak mau? Yaudah sini."

Langit hendak mengambil obat itu, tapi aku langsung menahannya. "Jangan! Buat gue aja. Makasih, ya!"

"Hm."

Sebelum makan, aku minum obat maag dulu. Setelah beberapa menit dilanjut dengan sarapa pagi. Masa bodo jika ada yang melaporkan kalau aku makan di kelas. Toh yang lain saja pada melanggar dengan menonton film dan membuat kegaduhan.

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang