Arloji di lengan kiriku sudah menunjukkan pukul setengah enam lewat, artinya sebentar lagi adzan Maghrib akan berkumandang. Sedangkan aku masih di tepi jalan menunggu angkot yang lewat sesuai jurusan alamat rumahku.
Aku takut Ayah akan marah kalau aku pulang sore, karena aku tidak mengabarinya. Ponselku lowbat jadi aku tidak bisa menghubunginya. Aku menghelas napasku berat, sepertinya aku harus mempersiapkan diri untuk dipukuli lagi malam ini. Ditambah aku melihat sekumpulan anak jalanan memperhatikanku. Bahkan beberapa orang diantaranya mulai mendekat. Jadi merinding kan.
Tin tin tin!
Suara klakson sepeda motor menyadarkanku dari lamunan, aku melihat sebuah motor besar terparkir di depanku, sipengendara yang pastinya laki-laki itu melepaskan helm full facenya. Wajah sok ganteng Langit muncul di penglihatanku. Ngapain dia di sini, memangnya boleh mengendarai motor besar seperti itu ke sekolah?
"Naik!" titahnya.
Aku mengernyitkan dahiku bingung. Gak salah dengar, nih? Dapat angin dari mana dia menawariku pulang bersama? "Nanya gue?"
"Bukan, tapi setan," jawab Langit.
"Oh."
"Gue serius, Bil," katanya lagi. "Udah sore. Cepetan naik!"
"Enggak, kalo lo bawa gue kabur bukannya ke rumah gimana?" tanyaku. Kita itu harus waspada dengan segala kemungkinan. Banyak bisikan-bisikan setan yang sedang menggoda umat manusia.
"Gak elah, lihat badan krempeng yang serba rata kayak lo gak bakalan bikin gue nafsu, cepetan naik!"
Aku berpikir sejenak. Ini rezeki nih ada yang mau nganterin pulang, gratisan lagi, daripada nungguin angkot yang gak datang-datang dan gak pasti. Tapi, nanti pas di motor, deket-deketan terus berduaan doang. Jadi takut.
"Cepetan naik! Gak lihat tuh anak jalanan ngelihat lo udah kayak mangsa? Gue hitung sampe tiga."
"Satu!"
Duh gimana ini? Naik gak ya?
"Dua!"
Ih kok ngitungnya cepet sih.
"Ti—"
"Oke gue naik," ucapku cepat lalu naik ke atas motor besar milik Langit. Untungnya aku selalu memakai celana panjang agar aurat kakiku tidak terlihat.
"Sudah?"
"Sudah."
"Pegangan!"
"Hah?"
"Pegangan! Nanti kalau lo jatuh gue juga yang repot."
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Serius ini dia minta pegangan? Ini saja kali pertamaku dibonceng laki-laki selain saudara, eh dia minta aku pegangan segala, mana berani.
"Enggak ah, bukan mahram."
"Yaudah, pegangan sama tas gue aja." Kali ini aku menuruti. Aku meremas tasnya yang menjadi pembatas diriku dengan Langit. Bismillah ya Allah selamatkanlah hamba di jalan. Maaf kali ini hamba harus dekat-dekat dengan laki-laki yang bukan mahram hamba. Terpaksa, karena sedari tadi gak ada angkot yang lewat.
Motor Langit melaju membelah jalanan kota Bogor. Teriakan dari sepeda motornya ini seperti nyanyian dalam keheningan yang kami ciptakan. Aku dan Langit sama-sama diam. Sepertinya dia sedang fokus mengendarai dan aku fokus pada pikiranku sendiri. Aku menunjukkan arah ke rumahku, karena Langit belum tahu di mana letak rumahku, bahkan teman-teman sekelasku pun tidak tahu rumahku di mana.
"Ke mana lagi?" tanya Langit, karena melihat pertigaan.
"Belok kanan!" sahutku sedikit berteriak.
"Ada pertigaan lagi gak di depan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BILANGIT (END)
Teen FictionKARYA ORISINAL ADA DI AKUN YANG LAIN (@phytagoras_) DAN TIDAK AKAN LANJUT DI SANA. --------------‐-------------------------------------------------------------------------- Bila tidak mengerti mengapa hidupnya penuh dengan drama. Setelah ia memutus...