44. Gone

371 30 0
                                    

    Hampir seminggu Langit mendiamkanku. Seolah-olah kita saling mengenal meski kini kita berada pada tempat yang sama dan jarak yang dekat. Setiap hari, ia akan mendengarkan musik melewati earphone dan tertidur di kelas. Waktu istirahat tiba, ia akan bermain bola di lapangan. 

    Langit sudah berubah. Tidak seperti dulu lagi. Ia bahkan tidak pernah mengajakku berbicara. Saat jam pelajaran dimulai pun ia sering tidur dan tidak memperhatikan kelas. Sekalinya memperhatikan dan ada yang tidak ia pahami, ia tidak pernah menanyakannya lagi padaku.

    Aku merasa kehilangan. Jujur saja aku sakit hati dengan perubahan sikap Langit. kalau dia memang tidak ingin jadi temanku lagi seharusnya ia bilang. Tidak secara tiba-tiba menjauhiku seperti ini dan membuatku bertanya-tanya apa kesalahan yang kubuat hingga ia begini, karena sebelumnya hubunganku dengan Langit baik-baik saja. Tidak bertengkar dan semacamnya.

    Hari ini harus kutanyakan alasan kenapa Langit mengacuhkanku. Aku harus tau alasannya agar aku paham dan mengerti, jadi aku tidak perlu memikirkan sikapnya yang mendadak berubah.

    Bel pulang sekolah berbunyi, menghentikan kegiatan belajar hari ini. Aku melirik ke arah Langit yang sedang merapikan alat tulisnya. Aku langsung buru-buru saat melihat Langit berdiri dan berjalan keluar kelas.

    “Langit! Tunggu!” Aku terus mengejar langkah kakinya yang lebar. Aku meringis merasakan sakit di kakiku karena memang belum sembuh. Gara-gara dipaksakan berjalan berkilo-kilo tiap harinya penyembuhan kakiku jadi lambat.

    “Langit tunggu!” teriakku frustasi. Aku bahkan tidak sadar kalau aku hampir menangis.

    Akhirnya, ia berhenti juga dan membalikkan tubuhnya ke arahku. “Apa?” tanyanya tanpa minat.

    Aku mengambil napas sebanyak-banyaknya. Kenapa lidahku mendadak kelu dan sulit berbicara? Dengan mengambil keberanian penuh aku melangkah sebanyak dua langkah.

    “Maaf,” ucapku. “Maaf kalau aku ada salah sama kamu dan aku gak sadar. Maaf, Lang.”

    “Gak usah minta maaf.”

    “Terus kenapa kamu jauhi aku seminggu ini? Kenapa kamu berubah?”

    Langit mengaihkan pandangannya, menghela napas, dan menatapku malas. “Gue pernah minta hadiah sama lo, kan?”

    Aku berpikir sejenak sampai akhirnya aku mengerti. “Oh yang lolos seleksi basket?”

    “Ya, boleh gue minta sekarang?”

    “Memangnya kamu mau minta apa?”

    “Bersikap seolah kita gak kenal.”

    Aku membelalak tidak percaya. Aku ingin menangis detik ini juga. Orang yang kukira akan terus berada di sisiku kini meminta untuk tidak saling mengenal kembali.

    “Bisa atau enggak, gue anggap kita gak saling kenal dan bukan teman lagi.”

    Rasanya hatiku seperti ditusuk oleh ribuan jarum. Dulu, ia mengatakan itu sambil tersenyum senang, membuatku bertanya-tanya hadiah apa yang ia minta. Sekarang, setelah mengetahui, aku menyesal karena membiarkan dirinya yang meminta. 

    Sekarang, aku hanya bisa menatap nanar punggung Langit yang menjauh. Harusnya aku sadar, tidak semua orang akan selamanya baik padaku.

*****

    Perjalanan menuju rumah terasa seperti perjalanan menuju surga. Hanya rumahku yang terasa lebih nyaman saat ini, karena di sanalah aku menemukan satu-satunya orang yang mau menerimaku apa adanya dan menganggapku berharga.

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang