42. Drama

211 24 0
                                    

    Kini aku sudah berada di kelas. Beberapa pasang mata tertuju padaku seperti biasanya. Gengnya Abil sepertinya sudah ber-ghibah membicarakanku. Terdengar olehku mereka menanyakan bagaimana kejadian di ruang BK tadi, dan kenapa wajah Abil tidak secerah sebelum ia pergi ke BK. 

    Aku melirik ke arah pintu kelas, Langit belum muncul juga. padahal aku yakin sekali kami pergi bersama tadi. Mungkin dia pergi ke suatu tempat dulu sebelum kembali ke kelas. Beberapa kali aku menggosok telapak tanganku untuk mendapat kehangatan. Kipas angin di kelas sudah bekerja dengan baik dan aku duduk tepat di bawahnya. Bajuku basah, lalu tubuhku terkena hempasan angin di pagi hari. Benar-benar dingin. 

    Mataku terbelalak merasakan tubuhku dibaluti jaket berwarna hitam. Aku refleks mendongak ingin melihat pelaku. Ternyata Langit sudah kembali, dan kini ia memberikan jaketnya untukku. 

    “Jam tangan pink! Kipasnya matiin,” suruh Langit pada Anya. 

    Gadis itu langsung menoleh dengan senyum bahagia, “Nama gue Anya, Lang, bukan jam tangan pink!” seru Anya.

    “Matiin!” ucap Langit lagi.

    Anya memberenggut kesal karena omongannya tidak digubris. “Engga. Gerah tau!”

    “Gue bilang matiin!”

    Seisi kelas terlihat terkejut kala Langit membentak Anya. “Lo jangan egois dong!” Kini Anya membuka suaranya lebih nyaring. Mungkin dia marah.

    “Kipas di sana gak akan mati kalau lo matiin saklar yang itu. Lo bego apa gimana, si?”

    Refleks aku memukul lengan Langit menggunakan buku tulis. “Jangan kasar,” peringatku.

    Langit menghela napas, “Abisnya dia beneran bego. Saklar yang di sana kan berhubungan sama kipas yang di sini bukan yang itu.”

    “Ya tapi jangan gitu juga dong, dia’kan perempuan, punya hati yang lembut, mudah tersinggung, sama kayak aku.”

    Langit bergeming dan terus menatapku agak lama, kemudian ia mengalihkan pandangannya. “Iya,” ucapnya.

    “Minta maaf sana.”

    “Apa?!”

    “Minta maaf.”

    Dengan ogah-ogahan Langit menoleh ke arah Anya yang sedang menunduk sedih. “Jam tangan pink!”

    Kembali aku menyikut Langit, “Anya,” peringatku.

    Cowok itu kembali menghela napas frustasi. “Anya.”

    Anya menoleh dengan cepat, sepertinya ia tidak menyangka Langit akan memanggil namanya. 

    “Maaf,” ucap Langit. raut wajah Anya langsung berubah menjadi malu-malu kucing.

    “Iya, dimaafin, kok.”

    Kini Langit beralih menatapku. “Udah, kan?”

    Aku mengangguk. “Iya.”

    “Btw, kenapa baju kamu basah? Abis digangguin lagi?”

    “Enggak kok, dari tadi juga basahnya, bentar lagi kering.”

    “Nanti istirahat jangan lupa berjemur, biar bajunya cepet kering.”

    “Iya.”

*****

    Pementasan drama akhirnya dimulai. Aku berada di belakang panggung menyiapkan properti yang akan digunakan, lalu beberapa orang membawa properti itu ke atas pangung. Para pemainpun sedang diberi riasan dan yang sudah sedang berlatih dialognya masing-masing. 

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang