Perkataan Lia dan Ayla masih terngiang-ngiang di kepalaku. Aku jadi tidak segan-segan untuk menemui mereka dan bermain bersama. Mereka benar-benar orang yang baik, sabar, dan selalu mengingatkanku pada kebaikan. Aku sangat bersyukur sekali karena sudah dipertemukan dengan mereka.
Lalu Langit? Aku jadi bingung harus bersikap bagaimana padanya. Sore ini bahkan Langit memintaku untuk pulang bersamanya. Aku ingin menolak, tapi dia bilang ingin berterima kasih padaku karena sudah membuat hubungan ia dengan ayahnya membaik. Ditambah ayahnya Langit ingin mengatakan sesuatu padaku, entah tentang apa.
Aku sempat menghubungi Ayla dan Lia, bertanya pada mereka aku harus bagaimana. Mereka berkata aku boleh menerima ajakan itu, asal ada mahramnya. Dan saat ini aku bingung, siapa mahramku karena ibuku pasti sibuk saat ini? Dan siapa yang harus kuajak? Aku takutnya tidak sopan karena mungkin saja apa yang akan disampaikan ayahnya Langit sedikit privasi. Akhirnya, aku meminta izin kepada Langit agar ada teman perempuannya, karena aku tidak mau sendirian di antara laki-laki yang bukan mahramku. Aku kan sedang berusaha untuk membatasi diri dengan lawan jenis yang bukan mahram.
Langit pun menyetujui saranku dan ia membolehkanku untuk mengajak teman. Katanya, ayahnya tidak keberatan. Oleh karena itu, aku meminta bantuan Lia dan Ayla untuk menemaniku, sehingga sore ini kami berlima berada di sebuah kafe dengan minuman yang sudah tersedia di hadapan kami. Sebenarnya, aku merasa tidak enak pada ayahnya Langit, karena biaya yang ia keluarkan jadi bertambah banyak.
"Terima kasih sudah mau jadi temannya Langit. Maaf ya kalau selama ini Langit sering merepotkan atau suka bikin kesal," ucap Om Anggara‒‒ayahnya Langit.
Aku hanya tersenyum kikuk. Malah aku yang sering merepotkan Langit, bahkan sampai membuat cowok itu berada dalam masalah karena aku. "Enggak, kok. Malah Bila yang sering ngerepotin Langit."
Om Anggara tertawa pelan. Kemudian memberiku sebuah amplop kecil. "Baca di rumah ya, tolong rahasiakan," pesan Om Anggara.
*****
"Kamu kelihatannya akrab banget ya sama Langit, bahkan sama ayahnya juga? Ini sih udah pertanda kayaknya." Lia membuka suara membuat aku dan Ayla langsung menoleh ke arahnya.
"Pertanda apa?" tanyaku.
"Pertanda udah dapet lampu hijau buat jadi mantu, hehe."
Entah kenapa bibirku langsung berkedut ingin tersenyum. Haduhh! Aku jadi malu begini. Kenapa aku begitu senang mendengar pernyataan Lia? "Apaan, sih."
"Ciee ... salting, tuh!" Dasar, mereka berdua malah menggodaku.
Saat ini aku, Ayla, dan Lia sedang di angkot dalam perjalanan pulang. Untungnya kami bertiga searah, jadi bisa pulang bersama. Ternyata Ayla dan Lia ini tidak pendiam, mereka justru agak cerewet. Kami sering kali mengobrol selama perjalanan. "Makasih, ya, kalian udah repot-repot nemenin aku," ucapku.
"Gak apa-apa, daripada kamu sendirian di sana. Gak perlu sungkan juga kalau mau minta bantuan kita, selagi kita bisa bantu kenapa enggak?" Aku tersenyum mendengar jawaban teman baruku.
"Kiri!" seruku. "Aku duluan, ya! Kalian hati-hati di jalan. Assalamu'alaikum!" Aku berpamitan kepada mereka lalu turun dari angkot.
"Wa'alaikumussalam! Hati-hati juga!"
Setelah itu, aku berjalan menuju rumah. Satu jam atau mungkin dua jam kemudian aku baru sampai. Seperti biasa di rumah tidak ada siapa-siapa. Mama sudah menghubungiku kalau dia masih bekerja. Sedangkan ayah? Entahlah, sudah tiga hari ini dia menghilang.
Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur. Aku ingin mencurahkan kelelahanku pada kasur ini. Siapa tahu diberi kenyamanan sampai aku tertidur pulas. Ngomong-ngomong ... aku penasaran dengan surat yang diberikan Om Anggara. Lantas, aku langsung meraih tasku dan mengambil amplop itu.
Terkejut bukan main ternyata di sana tidak hanya berisi surat, tapi ada sebuah foto, yaitu foto bayi laki-laki yang kira-kira umurnya sepuluh bulan-sedang tertidur. Pipinya merah merona alami, hidungnya sudah bengir meski masih bayi, dan bulu matanya juga lumayan panjang serta lentik. Aku membalikan foto itu, tertulis "Langit Anggara" di belakangnya. Jadi ini foto Langit ketika bayi? Pantesan dia ganteng begitu, dari bayi saja sudah ganteng luar biasa. Cetakan dari orangtuanya benar-benar berkualitas. Tapi, kenapa Om Anggara memberikan foto putra tampannya ini padaku? Karena penasaran, segera kubaca surat itu.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!
Apa kabarnya, Nak Bila? Om mau berterima kasih karena Nak Bila selama ini selalu bersama Langit, menjadi temannya, dan membuat Langit sedikit lebih ceria. Berkat Nak Bila, Om dan Langit kini sudah berbaikan. Alhamdulillah.
Om juga mau minta maaf atas tindakan Shinta-ibunya Langit yang sudah beberapa kali mengatakan hal-hal yang kasar. Om sangat bersyukur Langit bertemu dengan gadis seperti Bila, bahkan bisa akrab seperti itu. Tetap jadi temannya Langit dan ingatkan dia kepada kebaikan, ya? Tolong do'akan Langit semoga ia diberi hidayah oleh Allah subhanahuwata'ala. Kalau Nak Bila melihat foto masa kecil Langit, itu Om sengaja. Untuk kenang-kenangan. Sekali lagi, tolong jaga Langit dan bawa dia pada kebaikan, ya?
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!
Aku guling-guling di atas kasur seperti orang gila sambil menahan teriakan saking senangnya. Aku sangat senang menjadi perantara agar mereka bisa berhubungan dengan baik.
Jeduk! "Aduh!" Aku mengusap bokongku yang baru saja mencium lantai. Efek gak bisa diam nih. Ya, tapi mau bagaimana lagi, aku terlalu senang sampai meluapkannya seperti tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BILANGIT (END)
Teen FictionKARYA ORISINAL ADA DI AKUN YANG LAIN (@phytagoras_) DAN TIDAK AKAN LANJUT DI SANA. --------------‐-------------------------------------------------------------------------- Bila tidak mengerti mengapa hidupnya penuh dengan drama. Setelah ia memutus...