Langit gila! Ngapain coba dia ngomong kayak gitu? bikin salah fokus aja.
"Berarti ... gue boleh nikahin lo?"
Argh! Menyebalkan. Pipiku jadi memanas sejak tadi, bisa dipastikan aku sedang blushing sekarang. Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di kepalaku seperti kaset rusak, dan yang lebih parahnya lagi kenapa aku harus deg-degan gak karuan begini?! Aku gak mungkin suka sama Langit, kan?
Untuk sekarang, lebih baik aku menghindarinya dulu. Aku ingin memperbaiki sistem kerja jantungku yang selalu abnormal gara-gara tingkah Langit. Setelah masuk kelas, aku memindahkan tasku ke pojok, aku ingin duduk di sana, tidak peduli jika aku dibicarakan nanti.
"Vin! lo duduk sama Langit dulu, ya?" pintaku pada Alvin. Cowok itu mengernyit mendengar permintaanku.
"Kenapa?"
"Lagi males duduk sama dia."
"Jadi ceritanya lagi marahan sama ayang bebeb, nih? Terus kaburnya ke Herdi? Kasihan ya lo Her, jadi pelampiasan doang." Lagi dan lagi Alvin meledekku.
“Apaan, sih? Gak usah ngomong yang enggak-enggak, deh!”
“Ampun Kanjeng Ratu, saya tidak bermaksud.”
“Udah sana pergi, lama!"
"Sabar elah. Emosian mulu nih Kanjeng Ratu, lagi PMS, ya?" Aku memelototi Alvin hingga akhirnya cowok itu bangkit dari duduknya sambil menenteng tasnya. Kerjaannya menggodaku terus, heran.
“Kalau ada guru, kasih tau ya, Her?” Cowok itu mengangguk.
Setelah aku duduk dengan nyaman di kursi Alvin, aku menelungkupkan wajahku di atas meja. Ingin tidur sejenak meski bel masuk sebentar lagi akan berbunyi. Namun beberapa menit kemudian, terasa tendangan di meja mengusik tidurku. Aku hanya menggeliat lalu membenahi posisi tidurku yang kurang nyaman. Sepertinya aku hanya halusinasi dengan tendangan di kaki meja ini.
Tuk! Tuk! Tuk!
Aku menggeram. Ini halusinasi atau bukan, sih? Aku memiringkan kepalaku dengan keadaan masih menempel di atas meja. Aku terkejut bukan main saat melihat wajah Langit sangat dekat denganku. Ia memiringkan kepalanya juga dan menatapku lekat.
Aku menelan salivaku dengan susah payah. Ahh sial! Detak jantungku kembali berdetak dengan kencang. Kenapa Langit ada di sini, sih? Bukannya tadi aku duduk bersama Herdi?
Aku bangun dari tidurku sambil menatapnya tajam. "Lo ngapain sih di sini?"
"Harusnya gue yang nanya gitu sama lo."
"Herdi mana?"
Langit mengarahkan dagunya menuju mejaku yang semula. Di sana ada Herdi dan Alvin duduk semeja.
"Kenapa lo pindah ke sini?"
"Lo juga kenapa pindah?"
"Gue bosen duduk sama lo!" Kataku kesal.
"Tapi gue gak mau duduk sama yang lain kecuali lo!"
Aku tertegun dan menatap Langit tidak percaya. Tahukah Langit bahwa aku sekarang sedang menahan deguban di dada yang semakin kuat? Ya ampun! Pipiku memanas lagi, jangan sampai Langit melihatnya, mau taruh di mana mukaku nanti?
"Gue mau tidur, jangan ganggu!" ketusku pada Langit lalu menelungkupkan wajahku kembali untuk menyembunyikan semburat merah di pipiku.
"Yaudah, kita tidur bareng aja."
"Sakit!" pekik Langit tertahan karena aku mencubit lengannya yang kekar itu.
"Salah lo sendiri ngomong asal ceplos aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
BILANGIT (END)
Teen FictionKARYA ORISINAL ADA DI AKUN YANG LAIN (@phytagoras_) DAN TIDAK AKAN LANJUT DI SANA. --------------‐-------------------------------------------------------------------------- Bila tidak mengerti mengapa hidupnya penuh dengan drama. Setelah ia memutus...