36. Fall Down

178 25 0
                                    

    Pagi-pagi begini aku sudah dag-dig-dug gak karuan. Bagaimana tidak? Karena sekarang waktunya penyeleksian untuk ikut turnamen basket nanti. 

    Tanganku sudah berkeringat dingin. Sedari tadi aku menahan kegugupan yang tengah melanda. Semua anggota putri yang lain terlihat tenang kecuali aku. Yaiyalah, rata-rata mereka sudah ikut turnamen semua.

    "Tenang, lo kan udah latihan sama pelatih yang paling profesional ini," ucap Langit tiba-tiba membuatku menoleh padanya. 

    "Kalo aku buat kesalahan gimana? Terus gak lolos seleksi dan gak ikut turnamen gimana? Ini kan kesempatan terakhir yang aku punya." 

    Langit tersenyum dengan manis, lalu memberikanku handband berwarna hitam dari merek ternama. "Buat apa ini?" tanyaku.

    "Pake ini dan bayangin kalo gue lagi sama lo. Jadi, lo gak perlu takut."

    Aku tertegun mendengar ucapan Langit. Dia bisa bersikap manis juga ternyata. Kan ... dadaku malah berpacu lebih cepat. Aku jadi teringat surat dari Om Anggara semalam yang mengatakan bahwa ia bersyukur karena Langit telah bertemu denganku. Bahkan Om Anggara seakan setuju aku akrab dengan Langit. Aduhh jadi dag dig dug gini.

    Refleks aku menoleh ke arah Langit, melihatnya yang sedang memandangiku.

    Deg! Deg! Deg!

    Itu ekspresi Langit bisa gak sih gak usah begitu? Bikin anak orang meleleh aja!

    Priiittt!

    Suara peluit yang di tiup Coach Aldo mengalihkan perhatianku. Ia menyuruh anggota tim putri untuk menghampirinya ke sisi lapangan di seberang. Aku menelan salivaku gugup. Akhirnya, hal yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.

    "Semangat, ya."

    Blush!

    Kenapa suara Langit terdengar sangat manis sekarang? Huahh! sepertinya aku benar-benar sudah gila. 

    Aku hanya membalas ucapan Langit dengan senyuman tipis yang canggung. Kemudian, beranjak pergi menuju Coach Aldo.

    Beliau menyuruh kami melakukan gerakan-gerakan yang diperintahnya, misal lay up dan sebagainya. Kulihat ia dan Coach Doni sedang memperhatikan kami untuk menilai mana yang akan ia pilih. Tentu saja hal ini membuatku gugup tak karuan.

    Setelah melakukan perintahnya, akhirnya kami diberi waktu istirahat sebelum pengumuman tiba. Aku kembali ke tempatku semula dan mengambil air yang kubawa. 

    Langit mengambil posisi di sampingku, lalu berkata, "Gue yakin lo bakal lolos, setelah dilihat-lihat lo keren tadi."

    Aku tersenyum senang mendengar ucapan Langit. "Serius?"

    Cowok itu mengangguk. "Kalau lolos, kasih gue hadiah, ya?"

    "Mau hadiah apa memangnya?"

    "Ada deh," jawab Langit yang membuatku penasaran.

    "Jangan yang aneh-aneh!” ujarku.

    "Iya bawel," ucap Langit sambil menarik kerudungku hingga berantakan.

    "Langit ih!" pekikku kesal. Dasar cowok itu, jahilnya gak hilang-hilang. Langit hanya terkekeh melihat ekspresiku, dasar menyebalkan. 

    Coach Aldo dan Coach Doni berdiri di depan anggota basket. Kulihat tangan  Coach Aldo memegang sebuah kertas yang sudah ada tulisannya. Lagi-lagi aku menelan salivaku dengan gugup, sepertinya itu daftar nama yang akan ikut turnamen.

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang