27. My Protector

186 25 0
                                    

    Mama sepakat untuk menjual motorku untuk membayar hutang dan SPP sekolahku karena sebentar lagi ujian tengah semester akan dilaksanakan. Kemarin, ada beberapa orang yang menagih hutang ke rumah. Mereka marah karena mama selalu telat membayarnya. Bahkan laptopku dan TV sudah menjadi tumbal. Kini, motorku yang menjadi tumbal berikutnya. 

    Beruntungnya, sudah ada yang menawar dan terjual. Akhirnya, aku bisa melunasi SPP sekolah, meskipun aku harus jalan kaki untuk berangkat ke sekolah. Tetanggaku tidak mau lagi mengantarku, mungkin ia tidak mau berurusan dengan keluarga tidak harmonis yang terjerat hutang.

    Semalam Ayah mengamuk luar biasa, karena tidak mendapatkan uang hasil menjual motorku. Sebenarnya uang itu sudah diberikan oleh Mama kepadaku agar aku bisa menyembunyikannya. Ayah menginginkan uang itu untuk berjudi dan membeli minuman haram. Tentu saja Mama tidak mau memberikannya. Hasilnya, rumah kembali seperti kapal pecah, banyak barang yang pecah.

    Aku menatap uang ini di tanganku. Akhirnya aku bisa belajar dengan tenang, tidak perlu khawatir akan dikeluarkan dari sekolah karena tidak bisa membayar SPP.

    Tepat di depan ruang TU, aku menyalimi Bu Rinka. "Bila mau bayar SPP, Bu, untuk tiga bulan yang lalu sama bulan ini," ucapku.

    "Sebentar, ya?" Bu Rinka memainkan komputernya, mengecek semua dataku. "Kamu sudah tidak ada tunggakan lagi, kok."

    Aku membulatkan mataku tidak percaya. "Yang benar, Bu?"

    "Iya, Ibu lupa, kemarin Pak Ilham yang sudah membayar semua tunggakan SPPmu."

    Aku melongo. Terkejut dengan pengakuan Bu Rinka. Pak Ilham yang sudah membayarkan semua tunggakan SPPku? Tapi, kenapa?

    "Boleh Ibu tanya sesuatu?"

    "Boleh, Bu."

    "Kamu ada hubungan apa dengan Pak Ilham?"

    Dahiku mengernyit bingung mendengar pertanyaan Bu Rinka. Kenapa guru cantik ini berpikiran ke arah sana? Ah! Aku paham! Setelah gosip olimpiade, ditambah Pak Ilham sekarang melunasi tunggakan SPPku. Pasti orang-orang akan semakin curiga.

    "Bila gak ada hubungan apa-apa sama Pak Ilham, Bu."

    "Lalu ... kenapa Pak Ilham sampai melunasi semua tunggakan SPP kamu?"

    Aku semakin bingung karena aku pun tidak tahu alasan Pak Ilham melakukannya. Yang ada di pikiranku, mungkin inilah hadiah yang Pak Ilham berikan padaku untuk kuis itu. Tapi, Pak Ilham tahu dari mana soal tunggakan SPPku ini?

    "Maaf, Bu, Bila gak tau. Tanyakan saja sama Pak Ilhamnya, Bu." Kemudian, aku pamit pergi dari ruang TU. Aku harus mencari Pak Ilham, aku harus menanyakan kenapa ia bertindak sejauh ini. Uang tunggakan SPPku bukanlah uang yang sedikit, orangtuaku saja sampai menjual motor untuk melunasinya.

    Aku sudah mencari Pak Ilham di ruang guru, bertanya kepada setiap orang yang kutemui, sampai akhirnya aku menemukan Pak Ilham berada di taman belakang sekolah—sedang duduk manis di salah satu kursi sambil membaca buku yang cukup tebal. Aku menghampiri Pak Ilham dan mengucapkan salam. Guru tampan itu menoleh lalu tersenyum dan menjawab salamku.

    "Ada perlu dengan saya?" tanya Pak Ilham.

    Aku mengangguk lalu memberikan uang yang tadinya untuk membayar SPP. Pak Ilham menatap uang itu dengan dahi mengerut. "Bila mau mengganti uang Bapak yang dipakai untuk melunasi SPP Bila," ucapku. 

    Pak Ilham mengangguk mengerti. "Gak usah, itu hadiah dari saya."

    "Tapi, hadiahnya terlalu besar. Bila, kan, cuma dapat nilai delapan koma tiga, masa hadiahnya uang SPP empat bulan?"

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang