25. Again?

190 28 0
                                    

    Tidak lama kemudian, ibunya Yusuf datang dengan seorang laki-laki yang sangat kukenali. Refleks aku langsung membulatkan mataku, ternyata dia kakaknya Yusuf?!

    "Loh? Bila?" tanya laki-laki itu. Aku langsung tersenyum canggung menyapanya.

    "Kenal juga sama Bila?" tanya ibunya Yusuf.

    "Dia murid Ilham, Umi."

    "Oh begitu. Ya sudah, kita makan, yuk! Pasti sudah pada lapar, kan?" 

    “Fatimah gak bisa ikut, Umi udah nyuruh pulang.”

    “Yahh, yaudah tapi ini masakannya jangan lupa dibawa,” ujar ibunya Yusuf.

    Fatimah mengangguk, dan setelah urusannya selesai ia pulang. Aku merasa kesepian dengan ketidakhadiran Fatimah, dan juga merasa semakin canggung, karena di sini hanya aku orang asing, ditambah dengan dua makhluk ganteng yang membuatku selalu gagal fokus.

    Kami langsung mengambil posisi duduk di kursi meja makan. Aku duduk di samping Umi, dan kedua laki-laki itu berada di hadapanku.

    "Makanan ini dimasak sama Bila, Fatimah, dan Yusuf, loh!" ucap Umi.

    Aku jadi malu begini. Apalagi Pak Ilham duduk tepat di hadapanku.

    "Oh, ya? Wajib dicoba, nih!" sahut Pak Ilham, lalu menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya. "Enak!" seru Pak Ilham. "Cocok buat jadi istrinya Ilham," lanjutnya.

    Refleks aku menatap Pak Ilham yang tersenyum manis padaku. Dadaku langsung dag dig dug gak karuan. Kenapa dua bersaudara ini selalu berhasil membuat jantungku bekerja abnormal, sih? Nanti kalau rusak gimana? Ihh amit-amit! Sedangkan, di sampingnya, Yusuf tersedak hingga batuk. Sepertinya ia terkejut sekali.

    "Pelan-pelan, Nak! Jangan mentang-mentang ini masakannya Bila kamu makannya semangat gitu."

    Aku hampir saja menyemburkan makanan yang baru masuk ke dalam mulut. Kenapa selalu dikaitkan denganku? Bisa gila aku lama-lama di sini.

    "Bukan gitu, Umi," jawab Yusuf.

    Umi tertawa. "Bercanda. Ngomong-ngomong siapa yang cocok jadi istrinya Bang Ilham?" tanya Umi.

    Pak Ilham menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Aku menelan salivaku dengan susah payah. Tolong! Siapapun pegang tanganku saat ini. Aku takut terlalu lemas sampai akhirnya pingsan! 

    "Kalau Bila ... mau jadi istri saya?"

    ALLAHU AKBAR! CALM DOWN BILA!! Apa saat ini aku sedang dilamar?! Tenang Bila! Tarik napas, lalu buang. Ayolah, Pak Ilham hanya bercanda. Jangan kegeeran dulu.

    "Abang mau jadi pedofil ngembat anak muridnya sendiri?!" seru Yusuf terdengar tidak terima dengan pertanyaan Pak Ilham padaku. Nadanya benar-benar ketus. Wajah Yusuf bahkan sudah merah. Apa dia marah?

    "Kalau Bila nya mau, kenapa enggak?"

    Yusuf menatap Pak Ilham tidak percaya. "Gak boleh!"

    "Kenapa?"

    "Bila yang sabar, ya? Mereka emang suka berantem," ucap Umi padaku.

    Aku tidak peduli kalau mereka berantem. Tapi, masalahnya ... ini karena aku? "Tapi.."

    "Sudah, mereka bercanda doang, kok." Umi yang tadinya menatapku kini beralik pada kedua putranya. "Gak enak loh berantem di depan rezeki, ada tamu juga bukannya malu."

    "Bang Ilham nyebelin, Umi! Masa dia mau nikahin Bila?"

    "Ya gak apa-apa kalau Bang Ilham sama Bila nya mau, memangnya kamu juga mau menikahi Bila?"

    "Ma—" Ucapan Yusuf terhenti, sama seperti jantungku yang rasanya akan berhenti berdetak. "Umi..." rengek Yusuf lagi. Sedangkan, Pak Ilham menatap Yusuf penuh tanda tanya.

    "Sudah-sudah, gak kasihan sama Bila? Nanti sampe rumah dia kepikiran loh."

    Akhirnya dua kakak-beradik ini diam juga. Dan kembali melanjutkan makan dengan suasana canggung.

    Tepat selesai shalat Isya aku diantarkan pulang oleh Pak Ilham, Yusuf, dan juga Umi. Kenapa Umi dan Yusuf ikut? Karena tidak mungkin aku berduaan dengan Pak Ilham. Kalau hanya Yusuf yang ikut, aku tidak mau perempuan sendiri di sini. Oleh karena itu, Umi ikut menemaniku.

    Setelah sampai di rumahku, Pak Ilham dan Umi keluar dari mobil, memastikan diriku sudah masuk ke dalam rumah. Tapi, sebelumnya aku menyalaminya terlebih dahulu. “Terima kasih, sudah anterin Bila."

    "Sama-sama,” jawab Pak Ilham. "Kita pulang dulu, ya? Assalamu'alaikum!"

    "Wa'alaikumussalam!"

    Setelah mobil mewah itu melesat pergi, aku masuk ke dalam rumah. Aku mengucapkan salam berkali-kali. Tapi, pintu tak kunjung dibuka. Kupegang kenop pintu dan mendorongnya. Ternyata tidak dikunci.

    "Ma?" panggilku pelan.

    Aku mematung. Melihat isi rumah sudah berantakan seperti kapal pecah. Kaca lemari pajangan sudah berserakan di mana-mana. Dadaku langsung bergemuruh hebat. Mataku memanas menahan gejolak kebencian. 

    Apa yang sudah terjadi? Apa yang sudah dilakukan orang kejam itu di rumah ini? Bukannya dia sudah berjanji tidak akan mengamuk seperti ini lagi? Lalu bagaimana dengan Mama? Lantas aku langsung berlari mencari Mama.

    "Ma?!" teriakku dengan panik. Aku menjelajahi ke seluruh penjuru rumah, sampai akhirnya aku menemukan beliau sedang duduk sambil menyembunyikan wajahnya di lutut dan menangis tersedu-sedu.

    "Mama!" 

    Aku berhambur memeluk Mama. Beliau membalas pelukanku dan menangis di dalamnya. Aku ikut menangis, sakit rasanya melihat Mama ketakutan seperti ini. Sebenarnya apa yang sudah terjadi di rumah ini? Aku merasa bersalah sudah meninggalkan Mama. Aku enak-enakan di rumah Yusuf dan bercerita dengan Umi, sedangkan di rumah, Mama sedang tersiksa, dan lagi-lagi itu karena Ayah.

    “Ma, ada apa ini? Mama kenapa?”

    “Mama gak sanggup,” lirih Mama di sela tangisnya. “Kenapa ayahmu tidak mau berubah? Kenapa sadarnya hanya sesaat? Mama cape.”

    Aku mengusap punggung Mama untuk menenangkannya. Setelah lumayan tenang, aku membawa Mama ke kamar dan memberinya air minum. Aku bisa melihat pipi Mama merah. Saat kusentuh, ternyata terasa panas dan Mama sempat meringis karena terkejut,

    Dadaku langsung bergemuruh dengan hebat, “Mama ditampar sama Ayah?”

    Mama menatapku dengan terkejut, lalu menunduk. Air matanya kembali mengalir. Aku melengos tidak percaya. Kemana janjinya yang ia ucapkan waktu itu?! Kenapa kembali menjadi iblis yang membuat hancur hidupku dan Mama? Kenapa? KENAPA?!

    Aku menangis. Tidak kuasa merasa sakit yang amat menyiksa di hati. Kepercayaanku runtuh seketika. Aku merasa dikhianati. Aku tidak bisa percaya lagi kepada Ayah. Sosok yang seharusnya kuteladani, yang harusnya kuhormati, tapi kenapa malah mengingkari janji? Bagaimana bisa aku menghilangkan rasa benci ini jika ia tetap seperti itu? 

    Aku menggenggam tangan Mama yang bergetar. Meyakinkan Mama untuk menceritakan semuanya, kenapa bisa orang itu kembali berulah seperti ini. Dengan bibir bergetar Mama bercerita, bahwa usaha yang dilakukan Ayah tidak membuahkan hasil, dan malah menjadi rugi. Mama sudah memberitahu Ayah untuk tidak terlalu banyak membawa dagangan. Tapi Ayah keras kepala dan malah memarahi Mama. Dengan terpaksa Mama meng’iya’kan.

    Tapi kenyatannya bukannya untung malah buntung. Ayah kembali meminta uang untuk modal berjudi. Ya, ia kembali ingin melakukan maksiat itu. katanya cape-cape berdagang tapi malah rugi, lebih baik judi tidak cape sama sekali.

    Mendengarnya aku marah. Tentu saja semua usaha itu melelahkan. Kenapa hanya gagal segali sudah membuatnya menyerah? Apa itu yang harus kucontoh dari seorang kepala keluarga? Ya Allah! Aku lelah. Ibuku lelah. Kami lelah. Aku takut tidak bisa menahan kebencian kepada ayahku sendiri.

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang