Sabtu pagi ini aku bela-bela'kan membersihkan rumah dan mengurusi semuanya dari jam tiga pagi agar aku bisa ekskul hari ini, berhubung juga Mama masih sakit jadi aku harus membantunya.
Arloji di lengan kiriku menunjukkan pukul tujuh pagi. Setidaknya, pagi ini aku tidak terlambat dan terbebas dari hukuman. Kuparkirkan motorku di parkiran sekolah lalu berjalan menuju lapangan tempat dimana aku akan ekskul.
Sudah datang beberapa orang di sana, termasuk adik kelas dan juga kakak kelas. Setelah bersalaman dan tegur sapa dengan mereka, aku duduk di tepi lapangan lalu menghampiri kedua pelatihku di dekat ring basket dan menyalami keduanya.
"Baru latihan lagi Bil, kemana aja?" tanya Coach Aldo padaku. Seketika tanganku berkeringat dingin karena takut.
"Maaf Coach, Bila baru latihan, ada gangguan kesehatan," kataku jujur. Sungguh aku tidak berbohong. Sebulan yang lalu aku sakit, saat di tes darah ternyata leukositku rendah sehingga aku tidak boleh kecapekan dan sempat absen di sekolah selama seminggu lebih.
"Makanya jaga kesehatan, kalo terus sakit-sakitan dan jarang latihan kapan kamu akan berkembang? Yang ada kamu cuma numpang di ekskul basket dan gak pernah ikut tanding. Kamu udah kelas sebelas, seharusnya memberi contoh yang baik pada adik kelasmu, nanti ketika kamu kelas dua belas udah gak ada kesempatan lagi buat ikut turnamen."
Aku juga tidak mau sakit, tapi Allah selalu memberikannya padaku dan aku tidak bisa apa-apa. "Iya, maaf Coach." aku hanya menunduk.
"Ya sudah, gabung sama yang lain di lapangan untuk pemanasan." Aku mengangguk patuh lalu berlari menghampiri yang lainnya di tengah lapangan.
"Permisi, maaf terlambat."
Sebuah suara yang tidak asing tertangkap jelas di indera pendengaranku. Aku menoleh ke arah sumber suara untuk memastikan bahwa tebakanku tidak salah pada orang yang baru saja berbicara itu.
Pupil mataku sukses membesar mendapati Langit dengan jerseynya sedang menyalami kedua pelatihku.
"Maaf, saya tidak tau kalau ekskul dimulai jam tujuh," kata Langit.
Aku harus bertemu dengan orang itu setiap hari? Menyebalkan. Aku benar-benar tidak tahu kalau dia mengikuti ekskul basket. Sepertinya di sekolahnya yang dulu dia juga menjadi anggota basket, terlihat dia memakai jersey dari sekolahnya dulu. Jersey berwarna biru dengan abu-abu di bagian sisinya.
"Gak apa-apa, kan masih anak baru, di sekolah yang dulu jadi apa?" tanya Coach Doni.
Coach Doni khusus melatih anggota putra, dan Coach Aldo yang melatih anggota putri.
"Jadi center."
"Oke, kalau begitu nanti kita tes satu-satu ya."
Langit mengangguk lalu pamit dan segera bergabung dengan kami yang ada di lapangan. Anggota tim putri sibuk menggosip ria karena kehadiran Langit saat ini. Tentu saja, siapa yang tidak terpesona dengan wajah tampan seperti oppa-oppa Korea itu? Aku akui dia memang ganteng. Aku cuma bilang ganteng loh ya, bukan bilang kalau aku juga ikut-ikut terpesona.
Langit dengan gaya sok coolnya berdiri di sampingku. Aku menoleh ke arahnya yang tinggi menjulang, ternyata tinggiku hanya sebatas dadanya saja.
"Gue gak nyangka lo anggota basket juga, soalnya pendek sih," bisik Langit tepat di telingaku.
Dengan geram aku menginjak kakinya kuat. "Masih pagi, gak usah ngajak ribut, deh!" desisku tajam sambil melotot ke arahnya. Sedang ia hanya terkekeh pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BILANGIT (END)
Teen FictionKARYA ORISINAL ADA DI AKUN YANG LAIN (@phytagoras_) DAN TIDAK AKAN LANJUT DI SANA. --------------‐-------------------------------------------------------------------------- Bila tidak mengerti mengapa hidupnya penuh dengan drama. Setelah ia memutus...