14. Yusuf

218 29 0
                                    

    Di jam istirahat kali ini aku diminta untuk berada di perpustakaan, akan ada pelatihan bagi yang akan mengikuti olimpiade sains tingkat kabupaten. Aku bingung sekaligus senang menjadi jajaran nama yang ada di dalamnya. Tapi, tentu saja kedatanganku menjadi tanda tanya besar semua orang yang ada di perpustakaan. Aku tidak menonjol dalam hal akademik, apalagi di bidang fisika.

    Tepat di ruang baca, aku duduk di sembarang tempat. Ada seorang guru perempuan di depan sana, beliau adalah Bu Ai. Guru kimia yang selalu membuatku tegang. Dulu, aku pernah datang terlambat di jam pelajarannya, berdua lagi sama Tian hingga membuat Bu Ai curiga kepada kami berdua. Kami dihukum mengerjakan soal kimia di perpustakaan. Jujur saja, aku sangat lemah di bidang itu, nilai ulanganku saja mendapat nilai empat. Aku hampir saja menangis jika Tian tidak memberikan hasil kerjanya. 

    Oke, lupakan masa lalu. Di depan sana, Bu Ai sedang mengarahkan calon peserta olimpiade sesuai bidangnya, dan bidang fisika di tempatkan di ujung kanan. Aku langsung ke sana setelah mendapat instruksi dari Bu Ai. 

    Setelah aku duduk, aku tersenyum canggung pada teman-teman yang menjadi teman sekelompokku. Namun, seketika mataku terbelalak, terkejut karena kehadiran cowok yang tempo lalu memberikanku beberapa buku untuk latihan soal. Mataku terus menangkap dirinya yang tersenyum. Di garis wajahnya yang tegas, senyumnya tergolong sangat manis.

    Astaghfirullahal’azhim! Jaga pandangan Bila! Ingat, kamu harus menundukkan pandangan. Bahaya kalau terus melihat lawan jenis, apa lagi yang rupanya rupawan bak pangeran di dalam dongeng. Refleks, aku menggelengkan kepalaku beberapa kali, menyadarkan diri pada kenyataan.

    “Kamu kenapa?”

    Entah bagaimana bisa, cowok itu sudah berpindah posisi di sampingku. Sungguh, ini tidak baik bagi kerja jantungku. Aku menggeleng menjawab pertanyaannya. Kenapa di saat ia bertanya hal begitu saja tapi terdengar sangat teduh di telingaku? 

    “Alhamdulillah kalau gak apa-apa, kirain masih pusing karena kena bola,” ucapnya lagi.

    Aku tidak kuat mendengar suaranya yang terdengar begitu perhatian padaku. Aku lemah jika sudah begini. Lagipula kejadian kepalaku terkena bola itu sudah lama, tidak mungkin jika kepalaku pusing karena hal itu. Aneh-aneh saja dia ini.

    “Begini, karena kita akan menjadi partner belajar selama sebulan ke depan, gimana kalau kita kenalin diri masing-masing? Biar gak canggung satu sama lain,” usul cowok itu.

    Aku mengangguk setuju dengan antusias. Pasalnya sudah lama aku menanyakan namanya dalam hati. Laki-laki yang sering kutemui saat hendak shalat Dhuha, yang sering bertemu dan bertukar pandang walau kita tidak mengenal sama sekali tapi anehnya dia tahu namaku. 

    Gadis berambut panjang namun tipis ini memperkenalkan namanya, Dia Resma. Aku tahu Resma, karena ia ikut olimpiade fisika tahun kemarin, padahal ia masih kelas sepuluh. Berikutnya gadis yang memakai kerudung segi empat sedada yang duduk di sebelah Resma itu bernama Cindy. Lanjut teman sekelasku sendiri yaitu Tian, dan berakhir pada cowok itu. Aku menatapnya penuh penasaran. Dengan bodohnya aku baru menyadari sesuatu. Kenapa tidak kulihat saja badge namanya sejak dulu?

    “Nama aku Yusuf, mungkin teman-teman udah tau.”

    “Hah?!” teriakku refleks. Aku tidak salah dengar, kan? Dia Yusuf? Laki-laki yang dibicarakan Indri waktu itu? 

    Oalah! jadi ini Yusuf si ketua rohis yang terkenal tegas dan beribawa itu? Benar-benar tidak mengecewakan kalau dilihat dari segi fisik. Cewek-cewek pasti pada naksir, termasuk aku. Mungkin suatu saat nanti.

    “Ada apa?” tanya Yusuf.

    Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Lalu melirik kepada teman-temanku yang terlihat kebingungan. “Hehe ... enggak apa-apa, kok. Aku emang gaje orangnya,” ucapku. 

    Haduh ... ini mulut kenapa gak bisa gak heboh barang sehari saja. Kan malu kelihatan bar-bar di samping cowok ganteng.

    Aku menoleh ke kiri karena Yusuf terkekeh pelan. Ya Allah kuatkan iman hamba, kuatkan hati hamba, jangan sampai lemah di depan makhluk-Mu yang sangat manis ini.

    Setelah saling mengenal satu sama lain, kita mulai belajar bersama, membahas soal latihan yang diberikan Pak Ilham tempo lalu dan dilanjut dengan mengerjakan soal latihan yang lain. Jujur saja, aku merasa paling bodoh di antara mereka berempat. Mereka begitu mudah menyelesaikan permasalahan dalam soal, sedangkan aku butuh waktu lama untuk menganalisis soalnya. Sepertinya, aku harus berusaha lebih giat lagi jika ingin ikut olimpiade.

*****

    Akhirnya waktu istirahat tiba, aku sudah muak dengan semua soal-soal ini hingga mau muntah rasanya. Kita diberi waktu istirahat satu jam saja, digunakan untuk shalah Dzuhur dan makan siang. Aku menghela napas lega selepas shalat. Memang shalat itu adalah cara yang terbaik untuk mendamaikan hati dan pikiran.

    “Bila!” panggil seseorang yang membuatku refleks menoleh pada sumber suara. Dadaku langsung berpacu begitu cepat kala melihat orang itu menghampiriku.

    “Kamu bawa bekal gak?” tanya Yusuf. Dengan polosnya aku mengangguk.

    “Bagus, mau makan bareng?” tanyanya lagi. Haduh ini serius Yusuf mengajak aku untuk makan bersamanya? Ahh jadi baper.

    “Sama yang lainnya juga.” 

    Jleb! Kukira ia mengajakku makan berdua, ternyata tidak. Haduh ... aku jadi kegeeran gini. 

    “Iya,” ucapku seadanya. Jujur saja, di dekat Yusuf begini buat aku gugup. Aku yang biasanya cerewet mendadak pendiam di depan Yusuf. Bingung juga mau merespon seperti apa jika sedang bersamanya seperti ini.

    “Alhamdulillah.”

    Aku dan Yusuf berjalan bersama, tapi aku tepat di belakangnya. Tidak berani berjalan di samping Yusuf. Mendadak kepalaku memikirkan hari-hari yang lalu saat aku belum mengetahui nama Yusuf,  ia pernah bertanya kepadaku tentang sesuatu namun tidak jadi karena ucapannya terpotong oleh Bu Riana. Sebenarnya aku penasaran, apakah cowok itu sudah mengenalku sebelum ini? 

    “Yusuf,” panggilku.

    “Ya?” Seketika Yusuf berbalik dan menghentikan langkahnya.

    “Aku pengen nanya sesuatu, boleh?”

    Yusuf menjawab dengan anggukan kepalanya. “Boleh.”

    “Waktu kamu bantu aku bawa proyektor minggu lalu, kamu mau tanya apa? Yang kepotong sama Bu Riana.”

    “Oh ... yang itu?”

    Aku mengangguk dengan antusias.

    “Aku cuma mau tanya, apa kamu ingat kalau kita pernah bertemu sebelum ini?”

    “Ingat kok,” jawabku.

    “Kalau gitu kapan aja kita pernah bertemu sebelum ini?”

    Aku berpikir sejenak, mencoba mengulik masa lalu lebih detail. “Di masjid pas mau shalat Dhuha, terus waktu kepalaku terkena bola di lapangan.”

    “Wihh hapal banget.”

    “Memangnya kenapa?” tanyaku penasaran. Untuk apa ia menanyakan hal itu kepadaku?

    “Gak apa-apa. Aku cuma mau tau,” ucap Yusuf yang mampu membuatku kebingungan. Untuk apa ia ingin tahu hal sepele itu? 

   

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang