Tidak terasa seleksi untuk olimpiade sudah terlaksana, dan pengumumannya diumumkan hari ini di mading sekolah. Jantungku deg-deg’an gak karuan. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin dan sering mendapat bantuan dari Pak Ilham serta Yusuf, tidak enak hati jika aku gagal padahal mereka sudah bersusah payah membantu.
Mading terlihat ramai hari ini, mungkin siswa-siswi yang lain juga penasaran siapa saja yang akan mewakilkan sekolah untuk olimpiade kali ini. Aku mencoba untuk menerobos ke depan, karena tubuhku yang kurang tinggi tidak memugkinkan untuk jinjit dan mengecek mading, tidak akan kelihatan. Akhirnya aku bisa menerobos ke depan, dengan cepat aku mencari namaku. Berhubung mataku ini minus, agak kesulitan juga jika tidak melihat dari dekat.
Eh? Ini yang benar? Aku ... lolos seleksi! Alhamdulillah ya Allah! Akhirnya aku bisa mewakili sekolah untuk mengikuti olimpiade tahun ini. Aku tidak menyangka. Memang benar, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Tidak sia-sia aku berusaha begitu keras.
Tapi, tekanan yang aku hadapi juga semakin terasa. Aku harus berusaha lebih giat lagi agar bisa membawa kemenangan untuk sekolah. aku tidak boleh mempermalukan sekolah dan juga timku. Ohh iya! Yang lolos di bidang fisika ada aku dan Yusuf. Tahun ini aku menggantikan posisi Resma. Aduh aku jadi merasa bersalah padanya.
“Wihh selamat ya, Bil!” seru Indri.
“Yeay! Makan-makan!” seru Rahma.
Aku mendelik tidak terima. “Gak ada ya. Gak ada duit.”
“Ihh gitu. Kan syukuran, Bil, lo bisa lolos seleksi olim.” Kini Zeli menimpali.
“Udah bersyukur kok. Tapi, kalau buat traktiran makan-makan gak ada. Kalau mau beli sendiri.” Teman-temanku memberenggut kesal.
“Yaudah deh gak apa-apa, yang penting lo lolos.”
“Gak yakin gue lolosnya karena usaha sendiri,” ucap salah seorang siswi yang tidak kuketahui namanya. Dia menatapku sinis dan melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Melihat dari gayanya, aku yakin dia kakak kelas.
“Kalau bukan karena Pak Ilham, lo gak bakalan bisa lolos seleksi. Bingung aja gue, kenapa bisa Pak Ilham sampe segitunya bantuin cewek buruk rupa kayak lo. Jangan-jangan diguna-guna lagi?”
“Jangan sembarangan ya, Kak, kalau ngomong! Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan!” seru Indri tidak terima.
“Kok lo yang sewot? Temen lo aja diem.”
“Saya gak terima teman saya difitnah kayak gitu!”
“Fitnah? Lo pikir sendiri, deh. Kenapa Pak Ilham baik banget sama ni cewek tapi biasa aja ke yang lain. Lo juga pasti liat’kan foto dia sama Pak Ilham di mading. Mana ada guru sama murid romantis begitu? Makanya kalau punya otak tuh pake!”
Indri terlihat sangat marah, tangannya mengepal kuat siap untuk meninju kakak kelas itu. Dengan cepat aku menarik lengan Indri dan meminta untuk ia tidak melanjutkannya.
Aku menatap kakak kelas itu. “Sesuatu yang terlihat belum tentu itu kenyataannya.”
“Kayak lo, dandanan alim tapi kelakuan bejat.”
Aku mengepalkan lenganku kuat, berusaha meredam emosi. “Kakak gak tau apa-apa tentang saya. Jadi lebih baik diam daripada menimbulkan fitnah.”
“Gak usah sok alim! Lagian yang gue bilang emang masuk akal. Cowok tuh gak bakalan mau sama cewek buruk rupa kayak lo, kecuali lo ngasih jatah atau pake pelet.”
Salahkah aku jika aku sakit hati dengan ucapan kakak kelas itu? Salahkah aku jika aku marah? Meskipun aku sangat marah dan ingin sekali menamparnya, aku tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Saking sakitnya luka yang kakak kelas itu torehkan pada hatiku, membuatku hanya bisa menangis seperti ini dan membiarkan diriku nampak menyedihkan di hadapan banyak orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BILANGIT (END)
Teen FictionKARYA ORISINAL ADA DI AKUN YANG LAIN (@phytagoras_) DAN TIDAK AKAN LANJUT DI SANA. --------------‐-------------------------------------------------------------------------- Bila tidak mengerti mengapa hidupnya penuh dengan drama. Setelah ia memutus...