22. Forgive Me Father

191 29 0
                                    

    Selepas melaksanakan shalat Zhuhur, aku meminta Kak Nur—pementor rohis untuk tetap di masjid sekolah karena aku ingin menanyakan sesuatu hal. Sejujurnya, aku merasa sangat bersalah pada Ayah karena telah membencinya sedalam ini. Aku tidak munafik kalau sampai sekarang perasaan itu masih singgah tapi, aku selalu merasa kalau ini salah. Terlebih lagi aku sudah berani melawan ucapan Ayah waktu itu. Sungguh, aku menyesal. Perasaan bersalah terus menghantui diriku. Oleh karena itu, aku ingin konsultasi dengan Kak Nur, bagaimana sebaiknya seorang anak bertindak. 

    "Assalamu'alaikum! Maaf telat. Udah nunggu lama?" 

    Aku tersadar dari lamunanku karena mendengar suara kak Nur. "Wa'alaikumussalam! Enggak, Kak." 

    Kak Nur mengambil tempat duduk di sampingku. "Mau tanya apa?"

    Aku mengambil napas panjang lalu mengembuskannya secara perlahan. Aku gugup karena ini juga menyangkut masalah pribadi. "Begini, Kak, bagaimana adab seorang anak terhadap orang tua?"

    Kak Nur tersenyum setelah mendengar pertanyaanku. "Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an surah Al-Isra ayat 23 yang artinya: Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-beiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut di sisimu maka janganlah katakan kepada keduanya 'ah' dan janganlah kamu membentak keduanya."

    "Bila pasti tau maksud dari ayat ini, apalagi mendengar artinya. Kita harus buat sebaik-baiknya kepada orang tua. Tidak boleh melawan meskipun hanya sekedar mengucapkan 'ah'. Bahkan memandang orang tua kita dengan tatapan saja tidak diperkenankan,seperti dalam Al-Qur'an surah Al-Isra ayat 24, yang artinya: Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah, "Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil.""

    "Tapi, bagaimana kalau kita melawan karena benar dan orang tua kita yang salah? Semisal kita mengingatkan bahwa apa yang dilakukannya salah, tapi orang tua tetap marah dan melakukan kekerasan fisik, bahkan sampai mengatakan hal-hal yang tidak baik." Suaraku bergetar menahan tangis. Semua perlakuan keji yang dilakukan Ayah terputar layaknya film. Berhasil membuat hatiku kembali diserang rasa sakit yang luar biasa.

    "Seburuk-buruknya orang tua kita tetap harus menghormatinya. Kita tidak pernah tau apa yang ada di hati orang tua kita. Mengingatkan bukanlah hal yang salah, tapi cara mengingatkannya harus benar, yakni dengan lemah lembut dan menggunakan kata-kata yang baik, jangan sampai membuat orang tua kita tersinggung apalagi sampai sakit hati. Jika kata-kata tidak mampu meluluhkan hatinya, cobalah dengan tindakan, memberi contoh, karena teladan itu lebih baik. Insya Allah, lama kelamaan akan sadar."

    Aku meringis dalam hati. Ayah saja jarang ada di rumah, bagaimana mungkin aku memberi teladan. Selain itu, aku juga seharian berada di luar rumah karena harus sekolah dan bekerja.

    "Kalau keduanya tetap tidak bisa?"

    "Do'a. Karena do'a adalah senjatanya orang mukmin dalam segala keadaan dan suasana. Allah Ta'ala berfirman: Dan Tuhanmu berfirman, "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan mausk neraka jahanam dalam keadaan hina dina." (Q.S. Ghafir ayat 60)

    Bukan hanya itu, Allah juga berjanji akan mengabulkan do'a hamba-hambanya dalam surah Al-Baqarah ayat 186 yang artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat, Aku kabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila dia berdo'a kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka memperoleh kebenaran. (Q.S A-Baqarah ayat 186). 

    Teruslah berdo'a dan jangan pernah menyerah. Insya Allah, Allah akan kabulkan do'a-do'a kita, apalagi itu demi kebaikan."

    Jadi benar, semuanya salahku. Aku yang salah. Aku memang anak durhaka. "Bagaimana kalau sudah terlanjur menjadi anak durhaka?"

    Kak Nur terkejut menatapku. Mungkin ia akan melihat wajah putus asaku saat ini dengan mata memerah dan berair menahan tangis. Kak Nur menggenggam tanganku, raut wajahnya berubah. "Meminta maaf kepada kedua orang tua dan meminta ridho keduanya."

*****

    Jam sudah menunjukkan pukul satu malam, dan aku masih belum bisa tidur. Ayah belum pulang-pulang juga. Aku takut Ayah kenapa-kenapa, dan aku takut belum bisa meminta maaf kepadanya.

    Aku terus saja gelisah, aku ingin segera meminta maaf. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka yang nantinya akan menyeret kedua orang tuaku ke dalam neraka. Ya Allah! tolong izinkan aku untuk memperbaiki segalanya, izinkan aku untuk berbakti kepada kedua orang tuaku. Tolong ampuni hamba ya Allah. 

    Ketukan pintu dan teriakan seseorang membuatku beranjak dari kasur dan segera turun ke bawah. Aku juga melihat Mama yang berjalan ke pintu depan lalu membukakan pintu. Ayah pulang, refleks aku tersenyum. Dengan tergesa-gesa aku menghampiri Ayah dan berlutut di depannya.

    Tanpa aku sadari, air mataku sudah berjatuhan bagai hujan yang lebat. Aku tidak bisa berkata apa-apa dan terus menangis. Aku yakin, saat ini Mama dan Ayah pasti tengah kebingungan.

    "Sayang, kamu kenapa?" Mama merunduk dan mengusap punggungku.

    "Bangun, Kak," perintah Ayahku.

    Aku menggeleng kuat. 

    "Bila kenapa?" tanya Mama lembut.

    "Maaf," lirihku bergetar.

    Ayah nampak terkejut. Ia ikut merunduk bersama Mama dan menatapku. "Maaf buat apa?"

    "Maaf Bila belum bisa jadi anak yang shalehah, belum bisa jadi anak yang baik, dan belum bisa berbakti. Maaf. Maaf."

    Tangisanku semakin keras kala Ayah memelukku. Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar karena menangis. Bahkan saat ini, aku juga bisa mendengar isakan Mama.

    "Harusnya Ayah yang minta maaf karena belum bisa menjadi ayah yang baik. Maaf kalau Ayah sering pukul Bila, maaf kalau Ayah sering marah."

    Aku mendongak, menatap Ayah dengan penuh rasa bersalah. "Bila gak mau jadi anak durhaka. Tolong jangan bilang Bila itu anak durhaka," lirihku.

    Ayah menunduk, tangisannyapun semakin menjadi-jadi. "Ya Allah! maafin Ayah, Nak. Ayah janji, Ayah gak akan mudah marah lagi, ayah gak akan pukul kamu ataupun Mama, ayah gak akan bilang kamu anak durhaka. Maaf ayah belum bisa menjaga lisan."

    Ya Allah! Terima kasih banyak. Semoga dengan ini, Ayah bisa berubah menjadi lebih baik. Aku harap setelah ini hidup keluarga kami bisa menjadi lebih baik tanpa adanya pertengkaran dan bisa selalu tentram. Aamiin ... Allahumma aamiin.

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang