38. Flowery

162 25 0
                                    

     Pulang sekolah kali ini eskul rohis kumpul di masjid sekolah. Yusuf selaku ketua rohis menyampaikan bahwa untuk merayakan maulid nabi akan ada penampilan marawis, tilawah Al Qur’an, lalu drama. Aku menjadi staf di bagian properti untuk drama.

    Setelah semua sudah dibagi, Yusuf terlihat kebingungan. Ia melirik kertas naskah berkali-kali, lalu menghitung anggota rohis. “Aktornya kurang, padahal udah diminimalisir.”

    “Aku cari orang dulu deh, siapa tau ada yang mau gabung,” ujar Irwan, dan Yusuf mengangguk setuju. Kasihan juga jadi Yusuf, dia pasti pusing harus mengurus panitia, para penampil, dan yang lainnya. 

    Aku membaca naskahnya untuk mengetahui properti apa saja yang akan digunakan. Tapi, aku salah fokus dengan jalan ceritanya yang sedikit bucin tapi tetap terdapat pengajaran yang bisa didapat. Ini masalah pergaulan remaja saat ini yang menyimpang dari syari’at islam.

    Tidak lama kemudian, Irwan datang dengan mengucap salam. Aku refleks mendongak sambil membalas salamnya. Namun, detik berikutnya aku bergeming. Aku membelalakan mataku tidak percaya. "Kok, kamu bisa ada di sini, Lang?" tanyaku bingung.

    "Ya bisalah, kan punya kaki," ketusnya. Ih dasar, sewot mulu kayak cewek PMS.

    "Biasa aja kali Lang, sewot mulu," tukasku.

    "Udah, udah. Kita ke sini mau latihan, bukan buat berantem. Dan Langit, Ahmad, sama Kania bakal jadi pemain untuk drama ini," lerai Yusuf.

    Beribu pertanyaan muncul di benakku. Sebenarnya Langit kepentok apaan sampai niat ikut drama begini? Yang kutahu dia selalu malas bila berinteraksi dengan orang lain, apalagi yang belum dikenalnya. Bahkan sekedar menjadi seksi olahraga di kelas pun ia tidak mau. Katanya malas. Dia lebih suka diam sambil mendengarkan musik lewat earphone, atau menjahiliku hingga aku kesal. Langit benar-benar tidak bisa ditebak.

*****

    Hari demi hari kulewati, tidak ada lagi canda tawa, tidak ada lagi teriakanku ketika marah kepada Langit. Aku menghindar darinya. Bukannya aku membenci Langit, hanya saja karena perasaan yang telah hinggap ini membuat aku selalu gugup berada di dekat cowok itu. Ditambah saat ini aku ingin fokus memperbaiki diri dan berusaha untuk mengutamakan cinta kepada Sang Maha Pencipta.

    Aku berinteraksi dengan Langit hanya di jam pelajaran saja. Sisanya kuhabiskan waktuku untuk bersama Lia dan Ayla. Dan di waktu pulang sekolah, aku menyibukkan diri dengan drama yang sebentar lagi acaranya akan dilaksanakan. Aku jadi lebih banyak berdiskusi dengan Yusuf dan teman-teman yang lain mengenai properti, alat, dan sebagainya. Begitu pula dengan Ahmad, Langit, dan pemain lainnya yang sibuk dengan akting mereka.

    Saat ini latihan drama masih berlangsung di gazebo, dua menit yang lalu kami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Kugunakan waktu kosong ini untuk mengerjakan tugas sekolah. Sejak tadi aku hanya fokus pada buku yang ada di hadapanku dan tidak memedulikan sekitar. Lama kelamaan pegal juga lihat tulisan yang ada di buku. Jadi, aku memutuskan untuk berehat sejenak. 

    Mataku tertarik pada beberapa makanan ringan dan bekal yang ada di dekat Langit. Bisa kupastikan bahwa semua makanan itu dari fans-fansnya. Enak ya jadi Langit, gak perlu beli makanan, orang setiap hari fansnya selalu memberikannya. Biasanya aku yang selalu menghabiskan makanan itu. Berhubung aku dan Langit menjadi canggung akhir-akhir ini, aku jadi tidak bisa memakan makanan itu. Padahal saat ini aku sedang lapar sekali, ditambah aku tidak punya uang untuk beli makanan di kantin.

    Aku hanya bisa menghela napas. Aku harus menahan rasa lapar di perutku lagi sore ini sampai malam nanti. Terkadang, bahkan sering aku tidur dalam keadaan lapar. Bagaimana tidak? Makanan yang Mama masak sedikit, hanya cukup untuk dua porsi orang makan. Satu porsinya untuk Ayah, dan aku berbagi bersama Mama. 

    Setiap pulang sekolah aku selalu menolak makanan yang Mama masak. Karena aku tau beliau belum makan, sedangkan harus bekerja dari pagi sampai sore. Jadi, aku selalu beralasan bahwa sudah makan di sekolah karena teman-temanku selalu berbagi makanan. Padahal kenyataannya tidak. Di kelas saja aku tidak punya teman, hanya Langit seorang.

    Aku menelan salivaku kala melihat Langit memakan makanannya begitu lahap, membuatku jadi ingin makan juga. Mataku tidak lepas dari makanan ringan, kue, dan bekal itu. Air liurku rasanya hendak menetes.

    Langit tiba-tiba menoleh ke arahku dan menatapku dengan sebelah alisnya terangkat. Sadar karena aku telah ketahuan telah menatapnya, refleks aku membuang muka. Malu! Ntar dikira aku curi-curi pandang gimana? Terus kalau Langit tau aku suka padanya bagaimana? Gawat ini bahaya! Nanti Langit tidak mau berteman denganku lagi. Langit masih setia menatapku membuatku salah tingkah. Aku seperti maling yang ketahuan hendak mencuri. 

    Tuk! Sebuah bekal makanan berwarna pink menabrak lututku. Aku menatap Langit dan bertanya dengan isyarat gerakan yang kulakukan. Langit menjawab tanpa suara, hanya mengisyaratkan juga sama seperti yang kulakukan. Cowok itu memperagakan bahwa ia sedang makan lalu menunjukku. Kemudian, aku menunjuk diriku sendiri dan pura-pura makan bekal itu. Langit tersenyum sembari mengangguk, setelah itu dia berkata "abisin" tanpa suara. Aku membalas senyumannya dan menjawab "terima kasih". Langit peka sekali, ia sampai tau kalau aku sedang lapar. Tapi, jangan sampai Langit peka dengan perasaanku ini.

    Beberapa detik kemudian, ponselku bergetar, tanda ada pesan yang masuk. Aku meraih ponselku yang berada di lantai dan membukanya.

    Langit: makan yang banyak

    Aku tersenyum kecil membaca pesan Langit. Dia masih saja peduli padaku, padahal aku sudah terang-terangan menjaga jarak dengannya. Setelah Langit mengirim pesan itu, aku melihat sekantung besar makanan datang menghampiriku. Langit yang berada di ujung sana kembali menampilkan senyuman yang membuat jantungku hendak berhenti berdetak. 

    Bagaimana bisa aku menghilangkan perasaan ini kalau Langit terus bersikap seperti ini? Aku bisa gila!Aku menunduk untuk menyembunyikan semburat merah di pipiku. Rasanya aku ingin berteriak dan guling-guling. Aku sangat senang. Ya Allah, kuatkan hati hamba.

   

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang