Selepas menaruh tasku di kelas, aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku menggosok seragam dan kerudungku yang terkena saus menggunakan air agar menghilang, dan semoga saja tidak menimbulkan bau. Bayangkan saja, semua sampah itu mengenai tubuhku. Saus sambal dan kacang, serta minuman berwarna mengenai seragamku. Bisa kupastikan noda itu akan sulit dihilangkan. Kasihan ibuku, karena tidak mungkin aku membeli seragam baru. Tidak ada uang.
Air mataku luruh saat melihat pantulan diriku di cermin. Mengenaskan. Baju lusuh nan kotor, kusut pula, aku semakin terlihat menyedihkan. Aku tidak suka itu. Kembali aku memaksakan senyum. Mencoba menghibur hati yang tengah diserang ribuan rasa sakit. Namun sayangnya sia-sia. Rasa sakit ini terlalu mendominasi membuatku tidak bisa menahan lagi.
Ya Allah ... Apa kesalahan yang sudah kuperbuat hingga Kau memberi rasa sakit yang sulit dihilangkan? Mengapa Kau memberiku luka yang tak bisa kusembuhkan? Aku ingin menyerah. Ingin menghilang dari bumi dan tidak ingin mengingat semua ini. Bukankah ini terlalu berlebihan? Aku bukan tokoh yang ada di dalam film, novel, komik, atau apapun itu. Tapi kenapa hidupku selalu penuh dengan drama? Semua kejadian yang terjadi terlalu tiba-tiba untuk bisa kuterima.
Kenapa pula dengan orang lain yang begitu mudah menyerap asumsi-asumsi buruk yang terdengar. Mudah percaya tanpa menanyakannya terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Hingga asumsi dan omongan mereka mampu membunuhku secara perlahan. Akh! Terlalu larut dalam emosi itu tidak baik. Aku harus bisa bersabar. Pasti di balik kejadian ini ada hikmahnya. Ayoo semangat Bila! Kamu pasti bisa melewati semua ini.
Setelahnya aku berjalan menuju kelas. Sudah kuduga akan banyak siswa-siswi yang menatapku dan mengomentari diriku begini begitu. Aku sudah terlanjur dicap jelek. Ditambah dengan penampilan yang begini. Habislah aku jadi bahan omongan.
Tepat memasuki ruang kelas, aku dibuat bingung karena mejaku dipenuhi orang-orang. Aku mendekat, penasaran dengan apa yang terjadi. Namun, baru beberapa langkah mereka langsung menoleh padaku, tak lupa dengan tatapan yang ... ah sudahlah, kalian juga tau seperti apa.
Tasku! Kenapa mereka membukanya? Bukankah itu melanggar privasi? Tak seharusnya mereka lakukan itu. Tunggu dulu! Kenapa Abil tiba-tiba tersenyum menyeramkan seperti itu? Apa ada sesuatu di dalam tasku?
"Pas banget, pelacurnya udah dateng, " ucap Abil senang.
Ya Allah ... aku muak dengan panggilan itu, dan bosan merasakan hatiku selalu tertusuk saat mendengarnya.
"Kayaknya ... bakalan ada yang di D.O hari ini. "
Aku mengernyit. Di drop out? Aku? Seketika mataku membulat saat melihat sesuatu yang keluar dari dalam tasku dan kini tepat berada di genggaman Abil. Dengan cepat aku menghampiri Abil dan hendak mengambilnya. Tapi, beberapa teman Abil menahanku hingga membuatku tidak bisa berkutik.
"Balikin! Kamu udah ngelanggar privasi aku!" teriakku marah pada Abil.
Abil hanya tertawa pelan melihat reaksiku. "Privasi? Harus gitu gue jaga privasi seorang pelacur yang biasanya buka-bukaan?"
"Jaga mulut kamu, Bil! Jangan ngomong sembarangan yang bukan fakta! Stop fitnah aku!"
“Fitnah? Gue ngomong ini berdasar dari bukti yang gue lihat! Lagipula orang miskin kayak lo mana bisa bawa duit sebanyak ini? Sepuluh juta lebih loh. Lo kira gue bego?"
"Itu memang bukan uang aku dan mau dibalikin ke yang punya. Sekarang siniin uangnya dan lepas tangan kalian semua!"
"Lo pikir gue percaya? Emangnya ini duit siapa hah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BILANGIT (END)
Teen FictionKARYA ORISINAL ADA DI AKUN YANG LAIN (@phytagoras_) DAN TIDAK AKAN LANJUT DI SANA. --------------‐-------------------------------------------------------------------------- Bila tidak mengerti mengapa hidupnya penuh dengan drama. Setelah ia memutus...