9. Trapped

331 30 0
                                    

    Pagi ini aku sudah berada di ruang guru, sedang memperhatikan Pak Ilham yang tengah memindahkan data-datanya dari ponsel yang rusak ke ponsel yang baru. Begitu mudah ia mengganti ponsel, kalau aku harus menunggu sampai tidak bisa digunakan dulu baru ganti, itu pun harus mengumpulkan uang terlebih dahulu.

    “Sudah,” kata Pak Ilham sambil memberikan ponsel rusaknya padaku.

    “Pak, Bila boleh bertanya?”

    “Boleh.”

    “Kenapa hape ini Bapak kasih ke Bila?”

    Pak Ilham menautkan kedua alisnya seperti orang yang tengah berpikir. “Entah, pengen aja. Pokoknya jaga baik-baik, ya? Jangan dirusakin lagi.”

    “Hehe. Iya, Pak, siap! Kalau begitu Bila pamit ke kelas dulu. Assalamu’alaikum!”

    “Wa’alaikumussalam!”

    Di sepanjang jalan pandanganku tak pernah sekalipun terlepas dari ponsel ini. Jika layarnya tidak retak, ponsel ini pasti sangat keren. Sayang, aku merusaknya. Beberapa teman di kelas juga menggunakan ponsel yang merknya sama dengan Pak Ilham. Apel yang digigit setengah.

    Setelah sampai di kelas, aku duduk di kursiku dan terus memperhatikan ponsel ini. Mengutak-atik apa yang ada di dalamnya. Pak Ilham benar-benar memindahkan semua datanya. Ia niat sekali untuk memberikan ponsel ini padaku.

    “Wuihh! Hape baru, nih!” goda Indri.

    “Enggak, kok, ini punya Pak Ilham.”

    “Kok bisa sama lo, Bil?”

    “Aku yang rusakin, akhirnya dikasih, deh.”

    Indri terdiam sebentar, lalu menatapku penuh selidik. “Lo yang ngerusakin dan lo yang dikasih? Kok aneh, sih?” tanyanya.

    “Kan yang dikasihnya hape rusak.”

    “Jangan-jangan ... Pak Ilham sengaja kasih hape yang udah lo rusakin biar lo ngerasa bersalah terus, Bil. Dan akhirnya lo jadi gak enakan dan selalu nurutin perintahnya. Hati-hati loh.”

    Aku menggelengkan kepalaku tidak percaya. Indri ini kebanyakan nonton drama Korea, jadi pikirannya tidak realistis. Mabok oppa. “Ya kali Pak Ilham sejahat itu. Gak mungkin.”

    “Isi hati orang, kan, gak ada yang tau.” Benar juga, sih. “Pengen lihat dong, Bil, yang rusak apanya?”

    Aku memberikan ponsel itu pada Indri. “Tuh layarnya retak.”

    Indri memicing, menajamkan penglihatannya. “Ya ampun, Bil!” teriaknya menggema di seluruh penjuru kelas.

    “Ihh ngagetin aja! Ada apa?” tanyaku dengan kesal.

    “Ini yang retak bukan layarnya!”

    “Hah? Terus apanya?”

    “Yang retak itu cuma tempered glassnya aja. Ini sih barangnya masih mulus.” Indri melepaskan tempered glass dari layar ponsel itu, dan benar, layarnya sama sekali tidak retak.

    Ya ampun! Kasihan Pak Ilham yang sudah beli ponsel baru. Aku mengambil ponsel itu dari tangan Indri dan berlari ke luar kelas. 

    “Bil, mau ke mana? Kita bentar lagi ke labkom, loh!”

    “Ke ruang guru!” seruku.

    Aku segera mencari Pak Ilham di ruang guru, tapi guru muda itu tak ditemukan. Aku mencari ke TU pun tidak ada. Di ruang kesiswaan juga tidak ada. Di mana sih beliau? Aku mencarinya ke sana kemari ke seluruh penjuru sekolah seperti orang yang kebingungan. Pokoknya aku harus menemukan Pak Ilham, aku harus mengembalikan ponselnya.

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang