39. Worse

178 22 0
                                    

    Tin! Tin! Sebuah mobil hitam mewah berhenti di depanku. Saat ini aku sedang menunggu angkot untuk pulang di halte. Kaca jendela mobil itu turun dan menampilkan sosok yang sangat ku kenali. Orang itu mengisyaratkan untuk aku masuk ke dalam. Aku menurut meskipun merasa takut, sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu padaku.

    Mobil yang dikendarai orang itu terparkir di sebuah kafe dekat sekolah. Lalu kami masuk ke dalam sana dan duduk di meja yang paling belakang. Ibunya Langit melepas kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. Lalu menyeruput minuman yang sudah dipesannya tadi. Sedangkan aku hanya duduk dalam kegugupan. Tatapan ibunya Langit saja sudah menunjukkan maksudnya membawaku ke sini.

    "Kamu tuli, ya?"

    Aku menelan salivaku susah payah. Apa sebelumnya ibunya Langit sudah mengatakan sesuatu? Tapi, aku tidak pernah mendengar apapun. "Ma—maaf?"

    "Bukannya saya sudah bilang untuk menjauhi Langit? Kenapa masih terus mendekati anak saya?"

    "Maaf, bukannya Bila—"

    "Apa yang sudah kamu lakukan sampai anak saya tergila-gila sama kamu? Dengan memberikan tubuhmu, lalu kamu mengambil uang anak saya, iya?"

    Mataku memanas mendengarnya. Aku ingin barang sehari saja untuk tidak mendengar kata-kata itu. Hatiku rasanya tersayat-sayat ribuan silet. Sungguh menyiksa. "Bila gak pernah melakukan hal yang demikian, kami hanya teman sekelas."

    "Kamu pikir saya percaya? Dengan tetangganya yang lebih cantik dari kamu saja Langit tidak peduli. Memangnya kamu siapa? Sudah miskin, jelek, gak ada menarik-menariknya sama sekali. Atau kamu sudah pelet anak saya?"

    Dengan cepat aku menggeleng. "Bila gak melakukan apapun terhadap Langit. Bila gak tau kenapa Langit begitu."

    Ibunya Langit mendengus kasar. Kemudian, tangannya masuk ke dalam tas yang ia kenakan dan mengeluarkan banyak uang dari dompetnya. "Ini kan yang kamu mau? Ambil! Dan jangan dekati anak saya lagi! Saya gak sudi anak saya dekat dengan pelacur seperti kamu!"

    Uang itu ia lemparkan ke wajahku dengan murka. Ibunya Langit sama sekali tidak memedulikan tatapan orang-orang di dalam kafe ini yang mengarah padaku.

    Aku tidak bisa menyahut dan malah menangis dalam diam. Ibunya Langit bangkit dari duduknya lalu menatapku tajam. "Tidak usah khawatir, minuman itu sudah saya bayar." Kemudian langkah kakinya menjauh dariku, meninggalkanku sendirian di sini.

    Bisik-bisik para pelanggan kafe terdengar oleh telingaku. Aku yakin, hal ini pasti ramai diperbincangkan. Apalagi aku sempat melihat beberapa orang merekam aksi ibunya Langit yang marah-marah padaku.

    Aku mengusap air mata yang telah membasahi pipi. Aku harus kuat, lagipula aku tidak salah di sini. Aku mengenyampingkan tongkatku, dan berlutut untuk mengambil semua uang ibunya Langit yang berjatuhan. Akan kukembalikan uang ini besok.

    Di sepanjang jalan aku hanya bisa menangis, disertai dengan langkah kakiku yang pincang dengan bantuan tongkat. Betapa menyedihkannya diriku saat ini. Sudah difitnah menjadi jalang. Masalah ekonomi dan keluarga yang tidak usai-usai. Serta masalah teman-teman yang menjauhiku karena gosip yang beredar tentang diriku. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Rasanya terlalu sulit untuk dijelaskan.

    Aku mendongak, menatap langit yang sudah menggelap mendung. Bahkan beberapa kali aku sudah mendengar suara gemuruh. Apa akan turun hujan untuk menemani kesedihanku ini? Setidaknya, air hujan akan menyamarkan air mataku.

    Dan benar saja. Hujan turun dengan deras. Aku tersenyum. Aku tidak sendirian. Iya. Aku tidak sendiri. Masih ada hujan meski rasanya sangat dingin. Namun, tetap saja rasanya masih sepi. Masih terselimuti rasa sesak yang menggebu di dalam dada, seperti ada yang menyayatnya secara perlahan, lalu memberikan garam tepat di atas lukanya. Sangat perih.  Sejujurnya ... aku lelah dengan semua ini. Ingin aku menyerah, menangis dengan kencang, dan berhenti menjalani hidup. 

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang