Setiap hari aku harus berangkat setelah shalat Shubuh agar tidak kesiangan. Dengan kakiku yang belum juga pulih, dan motorku yang sudah dijual, aku harus jalan kaki sepanjang tiga kilometer setiap hari. Meski sudah berangkat sangat pagi, aku tetap sampai di sekolah sekitar setengah tujuh paling cepat atau jam tujuh kurang. Seperti biasa, setelah melaksanakan shalat Dhuha aku baru menuju kelas.
BYURR!
Aku mematung di ambang pintu kelas kala air menyiram tubuhku dari atas. Dari baunya, aku tau air ini adalah air bekas pel lantai. Tanpa sadar tanganku mengepal dengan kuat. Orang-orang di dalam kelas menertawakanku.
Tuk! Tuk! Tuk! Sepertinya mereka tidak puas setelah membuatku basah kuyup. Kini, semua orang melemparkan telur ke arahku. Aku menunduk dalam dan menjaga wajahku agar tidak terpukul.
Aku tidak bisa menahan untuk tidak menangis. Aku tidak sanggup harus berlagak sok kuat. Aku lemah. Hancur. Aku menyerah‒‒membiarkan mereka semua melemparkan telur dan botol plastik kepadaku.
Telingaku sudah tidak sanggup mendengar cacian yang mereka lontarkan sekarang. Pelacur, perempuan murahan, dan kata-kata kasar lainnya terngiang-ngiang di telingaku.
“Gue heran banget. Kenapa lo belum juga di D.O sampai sekarang. Udah jual diri ke om-om, ngegoda guru supaya bisa ikut olimpiade, bahkan deketin cowok-cowok di sekolah juga iya. Lo mau apa lagi sih, Bil? Gak cukup duit om-om lo embat? Kenapa terus berlagak kek orang miskin?”
“Bukannya dia miskin makanya jual diri. Gue aja kere gak sampe segitunya.”
“Harusnya udah banyak duit dong, kan tiap malem dikasih sama om-om.”
Ya Allah! Aku tidak kuat lagi.
“Duitnya lo kemana’in, Bil? Kepo nih gue.”
Aku tidak merespon ucapan mereka, yang kulakukan hanyalah menangis dan menangis. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi, aku sudah tidak punya tenaga walaupun untuk menyangkal omongan mereka. Semua rasa sakit yang kurasakan saat ini membuatku lemah.
“Kok diem aja, sih? Biasanya suka ngelawan pake bacotan lo.”
Aku segera berbalik karena tidak mau mendengar omongan mereka lagi. tapi kakiku refleks berhenti karena ada Langit di hadapanku. Entah kenapa perasaanku langsung lega melihat kehadiran Langit. mungkin karenamcowok itu selalu menolongku membuatku tanpa sadar sudah menjadikannya penolongku.
Aku menatap Langit penuh harap agar ia membelaku, menolongku, dan memperingati mereka yang telah jahat kepadaku.
“Minggir.”
Deg! Jantungku rasanya hendak berhenti berdeti. Kenapa ia berbicara sedingin itu padaku. Tidak seperti biasanya. Langit bahkan tidak pernah sedingin ini padaku kecuali saat hari pertama ia sekolah.
Biasanya ia akan khawatir jika melihatku kacau begini. Alisnya akan bertaut, matanya menyorotkan kekhawatiran, bibirnya akan melontarkan pertanyaan mengenai keadaanku. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Wajahnya datar, tatapannya menatap tidak peduli, dan bibirnya bungkam.
“Lo budeg? Gue bilang minggir.”
Layaknya luka yang diberi garam, ah tidak! Lebih sakit dari itu, lebih sesak, lebih menyiksa melihat orang yang selalu berada di samping kita mulai berubah. Bukan mulai lagi, tapi memang berubah.
Jantungku merasa sakit dua kali lipat dari yang tadi. Ada apa dengan Langit? Kenapa di saat aku membutuhkannya seperti ini dia harus berubah. Kenapa Langit juga harus seperti mereka? Kenapa? Ya Allah! Kenapa Langit harus berubah? Apa karena aku terlalu berharap kepadanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
BILANGIT (END)
Teen FictionKARYA ORISINAL ADA DI AKUN YANG LAIN (@phytagoras_) DAN TIDAK AKAN LANJUT DI SANA. --------------‐-------------------------------------------------------------------------- Bila tidak mengerti mengapa hidupnya penuh dengan drama. Setelah ia memutus...