40. Hurt Again

233 26 0
                                    

    Esoknya aku datang ke sekolah dengan kondisi yang kurang sehat dikarenakan hujan-hujanan kemarin malam. Aku masih saja teringat akan Yusuf. Dari semalam aku sudah memiliki firasat tidak enak. Aku takut sesuatu akan terjadi padanya, sama seperti yang terjadi pada Pak Ilham dan juga Langit. Entah kenapa ... beberapa hari ini aku merasa diawasi. Merasa ada yang mengikutiku. Namun, tidak mau su'udzon. Kuenyahkan segala pikiran buruk yang hinggap di kepalaku.   

    Seperti biasa, setiap baru sampai di sekolah aku menyempatkan diri ke masjid untuk shalat Dhuha. Lalu pergi ke tujuan utama yaitu kelasku.

    Bruk! 

    Mendadak aku terjatuh karena kakiku tak sengaja menabrak kaki yang terjulur ke depan. Aku meringis pelan merasakan lututku berdenyut perih. Luka yang kemarin belum sembuh, dan kini harus terhantuk lagi, dan rasa sakitnya bertambah dua kali lipat.

    "Akhh!" Refleks aku memegangi ikatan rambut di balik kerudungku karena seseorang menariknya secara tiba-tiba membuatku terkejut.

    "Heh pelacur! Masih punya muka buat sekolah setelah apa yang udah lo perbuat, hah?!" tanya seorang siswi yang kuyakini kakak kelas.

    Setelah mengatakan itu, ia mendorong kepalaku ke arah depan. Aku hanya mampu diam, tidak berani melakukan apa-apa. Sungguh ... ini  bukan seperti diriku yang sebenarnya. Biasanya aku akan melawan dengan tidak terima karena diperlakukan seperti ini. Namun, sekarang apa daya, kondisiku sedang tidak sehat, aku tidak punya tenaga untuk melawan.

    "Lo udah ngegoda tiga cowok sekaligus yang notabenenya baik-baik. Hebat juga ya, bisa ngerusak tiga cowok sekaligus."

    "Kalau orang baik aja kegoda apalagi berandalan di luar sana?"

    "Udah berapa puluhan om-om yang udah nidurin lo?"

    Mataku menajam menatap kakak kelas yang barusan berbicara. Aku tidak bisa menerima kata-katanya yang menghinaku seperti itu. Memangnya dia tahu apa tentangku? Apakah dia punya bukti kalau aku memang seperti yang dibicarakannya?

    "Memangnya Kakak punya bukti?" tanyaku dengan suara serak karena menahan tangis.

    "Bukannya selama ini bukti-bukti di mading udah jelas? Bahkan ada foto lo yang berani buka-bukaan di kelas sama cowok!"

    Ah ... fotoku dengan Langit tempo lalu. Kesalahpahaman ini benar-benar membuatku muak.

    "Terus Kakak langsung percaya sama foto yang belum terbukti kebenarannya?"

    "Gak usah banyak bacot buat ngelak segala! Ngaku aja kali, lo kan miskin, nyari duit susah makanya lo ngejual tubuh lo, kan?"

    "Mending lo gak usah deh pakai kerudung lebar-lebar begitu, merusak martabat orang-orang alim aja. Lo gak kasihan sama ekskul rohis yang namanya tercoreng gara-gara lo? Apalagi sekarang Yusuf yang statusnya ketua rohis udah terjerat sama pesona iblis lo!"

    Aku membelalak karena terkejut, "Yusuf?"

    Keempat kakak kelas di hadapanku ini menatapku jengah, salah satu diantaranya berdecih terlebih dahulu sebelum membuka suara. "Gara-gara lo ketua rohis yang terkenal alim dan beribawa itu udah dicap buruk karena ketahuan jalan berdua sama pelacur! Di toko baju lagi. Kenapa coba? Bajunya robek pas lagi gitu-gituan?"

    "Jaga mulut Kakak kalau gak tau kenyataannya?!" Aku sudah tersulut emosi. Masa bodo jika aku menjadi pusat perhatian.

    "Ohh ... berani juga ya lo bentak-bentak gue. Emang lo siapa? Pelacur miskin aja banyak tingkah!"

    Kakak kelas itu mendorong bahuku beberapa kali dengan kencang hingga aku mundur beberapa langkah. Tidak lupa dengan caci maki yang begitu memekakkan telinga.

    Aku tidak bisa menahan air mataku. Tangisanku pecah, terisak dengan keras hingga aku terlihat lemah. Aku sangat sakit hati dengan ucapan kakak kelas itu. Bahkan aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkannya. Kurasa ... permintaan maafnya tidak akan mampu untuk mengobati luka yang sudah ditorehkan.

    Memang benar lidah adalah sesuatu yang lunak dan tidak bertulang, namun dapat menyakiti dan membunuh siapa saja dengan kata-kata yang diucapkannya.

    Saking kerasnya dorongan kakak kelas itu, aku sampai terjatuh duduk di lantai. Tidak lama kemudian, kedua temannya yang lain mengangkat tempat sampah dan menumpahkan isinya padaku. 

    "Ini akibatnya kalau lo ngelawan!"

    "Lebih baik lo pergi, deh! Di DO sekalian biar gak ada lagi yang jadi korban lo! Dasar pelacur!"

    Aku menangis sejadi-jadinya setelah kakak kelas dan para kerumunan itu pergi. Kenapa aku harus mengalami hal ini? Kenapa aku dan kenapa harus aku yang menanggung rasa sakit ini? Fisikku memang tidak terluka, namun hati ini tidak sanggup terluka lagi. Sudah cukup! Yang tadi saja sudah mampu membuatku ingin menghilang detik ini juga. Ya Allah ... aku ingin hidup bahagia.

   

     

BILANGIT (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang